Beranda Ekonomi Anomali Pasar Modal

Anomali Pasar Modal

270

Oleh Cyrillus Harinowo
Akhir-akhir ini pasar modal Indonesia mengalami pasang surut cukup tajam. Jika sampai akhir tahun 2007 pasar modal kita mengalami pasang naik dan banyak memberikan keuntungan kepada investor, tahun 2008 pergerakan saham seperti roller coaster.
Hal itu dipengaruhi banyak faktor, terutama perekonomian global, yaitu kisruhnya sektor keuangan di AS serta naik turunnya harga minyak bumi yang menyeret harga komoditas lain.
Hal itu juga terjadi di mana-mana. Pasar modal Shanghai lebih dulu terpukul, dengan penurunan lebih tajam. Pasar modal di Mumbai juga tidak merefleksikan perkembangan ekonomi India. Anomali semacam ini membuat investasi di pasar modal menunjukkan warna aslinya, yaitu adanya risiko lebih besar.
Fundamental yang baik
Perkembangan ini bisa dikatakan anomali karena perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan di pasar modal mengalami perkembangan amat bagus pada tahun 2008. Mengamati laporan keuangan mereka, kuartal 1 dan 2, mayoritas pendapatan dan laba bersih perusahaan naik pesat. Hal ini didukung perkembangan ekonomi makro yang tidak kalah baiknya.
Pertumbuhan ekonomi riil pada kuartal satu adalah 6,3 persen. Kuartal dua mengalami kenaikan sehingga menjadi 6,4 persen. Tampaknya perkembangan ini masih akan berlanjut pada kuartal tiga ini. Bahkan, perkembangan PDB nominal, yang lebih kurang sejalan dengan perkembangan ”penjualan” perusahaan yang tecermin dalam laporan keuangan mereka, mengalami pertumbuhan fenomenal. Kuartal satu tahun 2008 pertumbuhan PDB nominal kita mencapai 22,5 persen, sedangkan kuartal dua melesat dengan pertumbuhan 27,9 persen. (Pertumbuhan nominal ini hampir sama dengan kenaikan penjualan yang dialami PT Unilever Tbk). Ini tidak lepas dari kenaikan penjualan produk yang harganya mengalami kenaikan tinggi, seperti kelapa sawit, batu bara, dan komoditas lain.
Perkembangan lain adalah tumbuhnya jumlah penduduk yang masuk kelas menengah ke atas yang akhirnya menjadi kekuatan besar perekonomian Indonesia. Merujuk penggolongan kelas konsumen yang dilakukan AC Nielsen—perusahaan yang andal dalam riset pasar—maka jumlah penduduk yang termasuk kelas A dalam definisi mereka (membelanjakan Rp 3,45 juta per bulan) diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini akan meningkat menjadi 45 juta orang pada tahun 2010.
Pendefinisian ini pun masih bisa dianggap konservatif karena Nielsen mengelompokkan kelas A dan B dalam kategori kelas menengah ke atas. Akibatnya, jika formula ini yang digunakan, jumlah penduduk yang masuk kategori kelas menengah Indonesia lebih besar lagi.
Pertumbuhan ekonomi dan bangkitnya kelas menengah ke atas Indonesia menjadi penggerak pertumbuhan selanjutnya. Kelas menengah ke atas yang besar meningkatkan penjualan AC rumah hingga mencapai sekitar satu juta unit per tahun. Dampaknya, kebutuhan listrik mencapai 500 megawatt. Belum lagi kebutuhan lain. Maka, dunia usaha dan PLN perlu mengamati pergeseran ini dan tidak lagi mengandalkan diri pada perencanaan linier.
Penumpang angkutan udara juga meningkat. Kelas bisnis di Garuda pun naik pesat. Kini, tiap hari business lounge Garuda di Cengkareng cenderung penuh. Pertumbuhan sektor ritel memungkinkan hidupnya banyak shopping mall.
Melihat perkembangan itu, tampak perkembangan fundamental perekonomian Indonesia tidak terwakili perkembangan di pasar modal sehingga bisa diistilahkan terjadi keterpisahan atau decoupling di antara keduanya. Meski demikian, dalam jangka lebih panjang, perkembangan pasar modal akan tetap mengalami kenaikan sesuai arah perekonomian riil.
Sentimen global
Akhirnya situasi pasar modal kita lebih banyak diwarnai perkembangan global dan banyak sentimen yang berkembang.
Pertama, perkembangan sektor keuangan global yang gonjang-ganjing. Likuiditas perbankan di AS mengalami keketatan amat tinggi sehingga The Fed pun ikut turun tangan guna mengurangi keketatan itu dengan bantuan likuiditasnya. Perkembangan ini menyebabkan banyak investor global mencairkan investasinya di negara berkembang dan ikut membantu memperkuat likuiditas perusahaan induk nya di AS. Keadaan ini mirip kejadian tahun 1994 saat Tequila Crisis, yaitu dicairkannya investasi mereka di emerging market untuk memperkuat perusahaan induk yang mengalami banyak penarikan dana (redemption). Inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena contagion effect.
Kedua, jatuhnya harga-harga komoditas, seperti batu bara dan kelapa sawit, berdampak pada turunnya harga saham perusahaan di bidang itu. Malaysia mengatakan, industri kelapa sawit mereka akan mengalami lampu kuning jika harga sudah menyentuh 590 dollar AS per ton karena sudah mendekati biaya produksi. Di Indonesia, biaya produksi kelapa sawit sedikit di bawah 300 dollar AS per ton. Bahkan, ada yang biaya produksinya hanya sedikit di atas 200 dollar AS. Saat Malaysia sudah kerepotan dengan jatuhnya harga produk itu, Indonesia masih bisa menikmati keuntungan. Bedanya, jika dengan harga 1.200 dollar AS per ton keuntungan perusahaan itu amat besar, dengan harga sekarang keuntungannya lebih kecil.
Ketiga, penurunan harga saham ini mungkin juga terjadi karena perkembangan suplai saham yang terlalu cepat. Karena pasar saham mencerminkan mekanisme pasar sebenarnya, maka peningkatan suplai saham perlu dijaga agar sesuai kecepatan peningkatan absorbsinya.
Saya percaya perkembangan pasar modal kita akan kembali meningkat sejalan perkembangan fundamentalnya. Kita bisa membantu mempercepat pemulihannya dengan menciptakan sentimen lebih baik.
Cyrillus Harinowo Rektor ABFII Perbanas
Sumber : kompas