Beranda Klinik Hukum Bangsa Ini Belum Cukup Dewasa untuk Isi Kemerdekaan

Bangsa Ini Belum Cukup Dewasa untuk Isi Kemerdekaan

219

Bangsa ini perlu membangun kekuatan alternatif, yang bisa bekerja sama untuk menyelesaikan agenda kebangsaan. Itu sebabnya para pemimpin partai politik perlu duduk bersama untuk membuat agenda besar mengatasi problem kebangsaan.
Hal ini dikatakan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir dalam dialog koalisi alternatif untuk membangun Indonesia bermartabat di Jakarta, Sabtu (20/9). Dialog itu diikuti pula Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) Bursah Zarnubi, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto.
”Setelah ada agenda kebangsaan bersama, bangsa ini perlu pembagian tugas di antara pemimpin nasional untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Meski partainya bersaing dalam pemilu legislatif, apa pun yang menang, rakyatlah yang akan jadi pemenangnya,” papar Soetrisno.
Bursah menambahkan, koalisi alternatif memang diperlukan bangsa Indonesia. Namun, harus jelas agenda kerakyatan yang akan dilakukan. ”Tanpa ada kejelasan agenda kerakyatan, koalisi alternatif tak akan ada kekuatan dan sulit mendapatkan dukungan rakyat,” ujarnya.
Jika koalisi alternatif bersatu, Soetrisno memperkirakan ada kekuatan besar untuk membangun keberpihakan kepada rakyat. Apalagi, jika tokoh di antara partai tengah bisa komitmen dengan agenda kerakyatan yang sudah disusun bersama, bangsa ini akan menjadi bangsa besar.
Menurut Bursah, harus ada rekonsiliasi di antara kekuatan partai tengah dan membangun kekuatan secara serius. Apalagi, kekuatan partai tengah ini memang mempunyai peluang besar untuk mengalahkan kekuatan calon presiden dari partai besar.
Tak perlu menanti
Bima mengatakan, koalisi alternatif perlu dibangun saat ini dan tak perlu menanti hasil pemilu legislatif. Dengan memunculkan kemungkinan kandidat alternatif pemimpin sejak awal, masyarakat akan melihat ada tokoh lain yang berpeluang untuk menjadi pilihan.
”Namun, koalisi ini seolah- olah ideal, meskipun tidak mudah dilakukan, tetapi juga bukan tidak mungkin bisa berhasil,” ujarnya.
Konstelasi kekuatan alternatif partai tengah, lanjut Bima, bisa hancur kalau ada kejutan dalam politik. Kejutan pertama adalah jika Megawati Soekarnoputri mengundurkan diri dari pencalonan presiden dan menyerahkan kepada kader partai lainnya.
”Kejutan kedua bisa terjadi jika Partai Demokrat kalah dalam pemilu legislatif, yang membuat popularitas Susilo Bambang Yudhoyono merosot tajam,” ujarnya.
Dalam kekuatan partai tengah, menurut Bima, PAN berpeluang besar menjadi motor koalisi alternatif. Itu sebabnya di antara partai tengah harus sering dibangun komunikasi dan berhati-hati berkampanye agar tak saling menjelekkan yang lain. ”Jika di kemudian hari ada keinginan membangun kekuatan koalisi alternatif, bisa dengan mudah koalisi dilakukan,” ujarnya.
Wiranto memaparkan berbagai problem kebangsaan, terutama kepemimpinan yang lemah dan keberpihakan kepada rakyat yang tidak tulus. ”Setelah 63 tahun, kita masih melihat amanah konstitusi itu belum terwujud. Berapa banyak kekayaan alam kita yang hilang sia-sia. Rakyat yang tak dihargai sebagai warga negara dan sebagai manusia,” ujarnya.
Menurut Wiranto, bangsa ini belum cukup dewasa mengisi kemerdekaan. Apalagi, pada era globalisasi ada persaingan yang keras, tetapi bangsa Indonesia baru menjadi pecundang. ”Kita ditekan dan direkayasa untuk menjadi negara konsumen,” ujarnya.
Begitu pula dalam demokrasi, lanjut Wiranto, bangsa Indonesia mendapat pujian dari dunia dalam melaksanakan demokrasi, tetapi ternyata isinya sangat kurang. Demokrasi yang ada baru kelembagaan. (mam)
Sumber : kompas