Beranda Artikel Beberapa Teori Pembuktian Dalam Hukum Pembuktian

Beberapa Teori Pembuktian Dalam Hukum Pembuktian

367

Pengertian bukti sesuai dengan tujuan pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus didasarkan. Kata pembuktian (bewijs, bahasa Belanda) dipergunakan dalam dua arti, adakalanya ia diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, adakalanya pula sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian.

Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian memberikan kesimpulan (dengan mengutip pendapat Ian Denis) bahwa : Kata Evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti menurut Hukum Positif, sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarah kepada suatu proses. Evidence atau bukti (pendapat Max. M.Houck) sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenai fakta yang kurang lebih seperti apa adanya.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan. Dalam buku yang sama, R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Pembuktiannya telah dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.

Munir Fuady dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian(Pidana dan Perdata) menyebutkan, Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, hampir seragam di Negara mana pun bahwa beban pembukian diletakkan pada pundak pihak Jaksa Penuntut Umum. Menurut Pasal 183 KUHAP, agar seorang tersangka dapat dijatuhi pidana, diperlukan bukti yang sah dan meyakinkan dan beban pembuktian tersebut dalam hukum acara pidana terletak di pundak Jaksa, dengan kemungkinan pihak terdakwa untuk membantah bukti yang diajukan Jaksa.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :

  1. Bagi Penuntut umum, pembuktian adalah usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada,agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuai surat atau cacatan dakwaan.
  2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya, biasanya bukti tersebut disebut kebalikannya.
  3. Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Hal di atas sejalan dengan pendapat Djoko Sarwoko bahwa sistem pembukian bertujuan :

  1. untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang
  2. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup proporsional guna membuktikan kesalahan
  3. Apakah kelengkapan pembuktian dengan alat alat bukti masih diperlukan keyakinan hakim.

Berdasarkan teori hukum pembuktian, menurut Munir Fuady bahwa hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas ke pundak siapa beban pembuktian (burden of proof, burden of producing evidence) harus diletakkan. Hal ini karena di pundak siapa beban pembuktian diletakkan oleh hukum, akan menentukan secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum dipengadilan, misalnya dalam kasus perdata di mana para pihak sama-sama tidak dapat membuktikan perkaranya.

Jika beban pembuktian diletakkan di pundak penggugat dan penggugat tidak dapat membuktikan perkaranya, penggugat akan dianggap kalah perkara meskipun pihak tergugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika beban pembuktian diletakkan di pundak tergugat dan ternyata tergugat tidak dapat membuktikannya, pihak tergugatlah yang akan kalah perkara meskipun pihak penggugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Oleh karena itu, dalam menentukan ke pundak siapa beban pembuktian harus diletakkan, hukum haruslah cukup hati-hati dan adil dan dalam penerapannya. Selain itu, hakim juga harus cukup arif.

Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan, yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan, untuk membuktikan dan meyakinkan pihak mana pun bahwa fakta tersebut memang benar-benar tejadi seperti yang diungkapkannya, dengan konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang dibebani pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh pihak yang mengajukan fakta tersebut di pengadilan.

Terkait sistem pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, telah timbul berbagai aliran pembuktian yang menurut zamannya dianggap sebagai hal yang tepat. Teori-teori Pembuktian tersebut akan dikemukakan sebagai berikut di bawah ini:

a.      Teori pembuktian obyektif murni

Teori ini dianut oleh hukum gereja Katholik (canoniek recht) dan disebut juga aliran ini ajaran positif menurut hukum positif wettelijke. Dengan Positief bewijs theori, hakim terikat secara positif kepada alat bukti tanpa perlu keyakinan hakim dapat menjatuhkan putusan. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa ini digunakan dalam acara perdata, karena yang dicari adalah kebenaran formal. Menurut teori ini hakim sangat terikat pada alat bukti serta dasar pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang, yakni dengan menyatakan bahwa sesuatu perbuatan-perbuatan yang didakwakan telah terbukti haruslah didasarkan kepada hal-hal yang telah disimpulkan dari sekian jumlah alat-alat pembuktian yang semata-mata berdasarkan undang-undang.

Sedangkan keyakinan hakim berdasarkan dan berasal dari hati nuraninya yang paling dalam sekalipun tidak boleh ikut memegang peranan dalam pengambilan keputusan tersebut. Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras. Dengan demikian ajaran ini disandarkan hanya semata-mata kepada alat-alat bukti yang telah diatur atau ditetapkan oleh undang-undang, tanpa adanya unsur keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa.

Jadi meskipun ia tidak yakin akan tetapi karena kasus tersebut telah diperiksa dua orang saksi yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan, maka hakim harus menghukum. Teori pembuktian ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang berdasarkan undang-undang,vsehingga putusan hakim tidak mungkin obyektif. Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa sistem melulu menurut undang-undang atau positief wettelijke ini sama sekali tidak mengandung suatu kepercayaan kepada kesan-kesan perorangan dari hakim, sebetulnya bertentangan dengan prinsip bahwa dalam acara pidana suatu putusan hakim harus didasarkan atas kebenaran.

b.      Teori pembuktian subyektif murni

Teori pembuktian subyektif murni (conviction in time atau bloot gemoedelijk over tuiging) ini bertolak belakang dengan teori pembuktian obyektif murni karena dalam teori pembuktian subyektif murni didasarkan kepada keyakinan hakim semata. Salah satu Negara yang menggunakan conviction in time dalam persidangan perkara Pidana adalah Amerika. Hakim di Amerika adalah Unus Judex atau Hakim Tunggal yang tidak menentukan benar atau salahnya terdakwa, melainkan Jury yang menentukan, meskipun Hakim di Amerika dalam menyidangkan suatu perkara memiliki hak Veto. Dalam keadaan paling ekstrim, seandainya semua Jury mengatakan terdakwa bersalah, namun Hakim tidak berkeyakinan demikian, ia dapat membebaskan terdakwa. Begitu pula sebaliknya jika semua Jury mengatakan terdakwa tidak bersalah, tetapi hakim berkeyakinan bersalah, ia dapat menjatuhkan pidana. Jumlah Jury dalam Pengadilan berkisar antara 11 sampai 15 Juri, kecuali untuk kasus serius yang melibatkan pejabat Negara atau kasus tersebut mendapat sorotan masyarakat, kasus tersebut dinilai oleh grand jury yang terdiri 23 orang. Selama persidangan para Jury diisolasi agar mereka tidak menerima pengaruh dari luar seperti publisitas tentang kasus tersebut. Para Anggota Jury tinggal di hotel dan hanya memiliki akses keberita-berita yang telah disensor. Istilah para Jury dalam persidangan suatu perkara didikenal dengan istilah Sequestration (Mengasing diri dari Masyarakat).

Jadi prinsip pembuktiannya kepada penilaian hakim atas dasar keyakinan menurut perasaannya semata-mata, dan tidak menyandarkan kepada pembuktian menurut undang-undang tetapi memberikan kebebasan yang mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim dalam aliran ini sangat subyektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Prof Andi Hamzah, berpendapat bahwa sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar sehingga sulit diawasi, di samping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit melakukan pembelaan.

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa : terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan belaka dari hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-pertimbangan hakim yang mengalirkan pendapat hakim ke arah putusan.

c.       Teori pembuktian yang bebas

Teori pembuktian yang bebas (conviction rainsonce) atau vrije bewijsleer adalah merupakan ajaran/sistem pembuktian yang menghendaki agar hakim dalam menentukan keyakinannya secara bebas tanpa dibatasi oleh undang-undang, akan tetapi hakim wajib mempertanggungjawabkan cara bagaimana hakim tersebut memperoleh keyakinan dan selanjutnya hakim wajib menguraikan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya yakni semata-mata dengan keyakinan atas dasar ilmu pengetahuan dan logika serta hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam sistem ini hakim dapat menggunakan alat bukti lain di luar ketentuan perundang-undangan.

Sehubungan dengan teori ini Martiman Prodjohamidjojo mengatakan bahwa  ajaran ini disandarkan semata-mata atas dasar pertimbangan akal (pikiran) dan hakim tidak dapat terikat kepada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dengan demikian hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti lain yang di luar ketentuan perundang-undangan. Menurut Eddy OS.Hiariej, conviction rainsonce artinya menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Di sini hakim diberikan kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai alasan-alasan yang logis dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia conviction rainsonce digunakan dalam persidangan tidak pidana ringan, termasuk perkara lalu lintas dan persidangan perkara cepat yang tidak membutuhkan Jaksa penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dalam persidangan.

d.      Teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke)

Di dalam teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke), ada dua hal yang merupakan syarat syarat : (1) Wettelijke, disebabkan karena alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang, dan (2) Negatief, disebabkan oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk hakim menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti, akan tetapi harus dibutuhkan adanya keyakinan hakim.

Menurut sistem negatief wettelijke menghendaki hubungan causal (sebab-akibat) antara alat-alat bukti dengan keyakinan. Alat bukti dalam sistem pembuktian negatief wettelijke ini telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta bagaimana cara menggunakannya (bewijs voering) yang harus diikuti pula adanya keyakinan, bahwa peristiwa pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah.

Sistem pembuktian ini ada persamaannya dan perbedaannya dengan teori pembuktian yang bebas. Persamaannya daripada teori ini adalah bahwa untuk menghukum terdakwa harus ada unsur keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah dan menyebutkan alasan dasarnya. Perbedaannya bertitik tolak dari bahwa teori pembuktian negatief wettelijke menghendaki keyakinan hakim dengan alasan yang didasarkan pada alat bukti menurut undang-undang, kemudian teori pembuktian yang bebas, keyakinan hakim didasarkan kepada kesimpulan (conclusie) yang logis tidak berdasarkan undang- undang.

Sistem pembuktian merupakan hal-hal yang bersifat urgen dalam menjamin proses pemeriksaan perkara pidana, karena di dalam sistem pembuktian tersebut mengandung asas dan cara pembuktian yang dipakai yang merupakan perangkat aturan formal guna menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

(Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM, MBA)