Beranda Kampus Berikan Si Miskin Kesempatan Belajar

Berikan Si Miskin Kesempatan Belajar

264

Oleh Bernard Simamora

PENDIDIKAN merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang dan perumahan. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan harus ditempatkan sebagai kebutuhan utama. Bila selama ini pendidikan dianggap sebagai kebutuhan sekunder, sekarang merupakan kebutuhan primer. Keluarga yang ingin maju, sebagai miniatur bangsa terkecil, harus rela mengurangi kualitas pemenuhan kebutuhan lain seperti perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan.

Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam menyejahterakan rakyatnya, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang kurang penting, kurang urgen, ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.

Negeri ini telah 22 tahun mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 6 Tahun dan lebih dari 10 tahun melaksanakan Wajardikdas 9 Tahun. Maksudnya sangat baik. Memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk sekolah dengan biaya murah dan terjangkau masyarakat banyak. Malah, pendidikan dasar seharusnya digratiskan sebagai pemenuhan kebutuhan pendidikan mendasar bagi warga negara.

Seperti diketahui, sebagian besar keadaan ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Sejak Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres-inpres selanjutnya, telah diupayakan memberikan pendidikan murah untuk anak bangsa. Puluhan ribu gedung sekolah dibangun dan puluhan ribu guru diangkat agar pemerataan kesempatan belajar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Wajardikdas 6 Tahun yang telah dicanangkan tahun 1984, gemanya makin hari makin melemah. Komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita menilai pendidikan tinggi itu mahal, SLTA mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar dan Taman Kanak-kanak pun mahal.

Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan kurikuler, tetapi justru besarnya biaya untuk masuk sekolah. Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini tinggal slogan. Kenyataan, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi. Karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bahkan di sekolah milik pemerintah (negeri) pun. Bagi orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.

Hampir semua yang namanya sekolah, swasta atau negeri, melakukan pungutan-pungutan. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan belajar. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang 61 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.

Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.

Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.

Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pengelolaan pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri-sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.

Kedaan ini diperparah lagi, bahwa unsur pemerintah daerah disinyalir mendapat bagian dari pungutan-pungutan. Bahkan Dinas Pendidikan sendiri mengadakan pungutan-pungutan kepada pihak sekolah, yang memberatkan sekolah dan sekaligus akan memberatkan siswa. Demikian halnya dengan berbagai cara penggunaan anggaran pendidikan yang tidak efisien pada semua lini birokrasi yang menangani pendidikan. Terjadi tumpang tindih, kegiatan fiktif, mark up, dan lain sebagainya. Yang penting proyek. Hal ini semua, secara efek domino memperparah minimnya kesempatan belajar – melambungan angka putus sekolah. Artinya, disamping sedang melaksanakan proyek piduteun, juga sedang terlaksana proyek “pembiaran anak bangsa tetap bodoh” atau “pembodohan anak bangsa”. (A01) – (29 Juli 2006).

Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung