Beranda Ekonomi Dibalik Melambungnya Harga Daging Sapi

Dibalik Melambungnya Harga Daging Sapi

382

Oleh Bernard Simamora
Hari-hari ini harga daging sapi melambung menjadi Rp 120.000-140.000 per kilogram. Hal ini dinilai sudah sangat aneh karena baru-baru ini Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa stok daging sapi sebenarnya cukup untuk 4 bulan. Dengan stok yang cukup itu kata dia, seharusnya harga daging sapi tak melambung seperti saat ini.

Ada supply chain yang tidak beres, karena kata Mentan, harga asal daging sapi impor hanya berkisar antara Rp 35.000-40.000 per kilogram, dan harga di tangan konsumen dalam kondisi normal, mencapai Rp 80.000-90.000 per kilogram. Melambung menjadi Rp 120.000-140.000 per kilogram di tangan konsumen, sungguh merupakan ulah mafia hanya sekedar upaya memperkaya diri atau malah mau melakukan “kudeta” dan menyengsarakan?

Gonjang-ganjing harga daging sapi saat ini patut diduga kuat karena ulah pedagang besar dan importir yang menimbun daging sapi sebagai bargaining agar pemerintah menambah kuota impor sapi yang mulai dibatasi pada semester I-2015. Pasalnya, pembatasan impor yang dilakukan pemerintah membuat mafia sapi dan eksportir luar menjadi was-was. Mereka terpukul karena akan kehilangan potensi omset triliunan rupiah akibat pembatasan itu, sehingga mafia mulai melakukan rekayasa sehingga harga daging sapi menjadi melonjak.

Saat ini memang sedang dilakukan pembatasan impor sapi sebagai salah satu wujud konkret upaya mencapai kedaulatan pangan. Pada kwartal III-2015 izin impor sapi yang sekarang ada di Kemendag hanya 50 ribu ekor, menurun drastis dari kwartal sebelumnya yang mencapai 270 ribu ekor.

Hitungannya cukup sederhana. Jika harga satu ekor sapi Australia ditambah pengapalan dan lain-lain Rp10 juta, maka eksportir itu kehilangan potensi omset sebesar 270 ribu ekor dikurangi 50 ribu ekor dikali Rp10 juta maka omset importir akan hilang sekitar Rp 2,2 triliun setiap kuartalnya. Sehingga setiap tahunnya, mafia akan kehilangan omset Rp 8,8 triliun, suatu angka yang fantastis. Masuk akal, jika hilangnya potensi omset tersebut membuat mafia sapi impor menjadi gusar. Mereka berupaya melakukan rekayasa agar pemerintah tetap impor dan ini sudah terlihat dari rekayasa yang semakin kuat.

Indikasi permainan lainnya, pedagang sapi malah melakukan aksi mogok di sejumlah kota besar di tanah air sebagai bentuk protes atas pembatasan impor sapi. Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi meminta pemerintah untuk segera mengambil sikap dan menghitung ulang kebutuhan serta ketersediaan pasokan sapi nasional.

Agak aneh bila pedagang yang melakukan aksi mogok, karena konsumen daging sapi yang sangat dirugikan, bukan pedagang. Tetapi konsumen tidak mogok membeli tetapi pedagang yang mogok menjual. Logikanya, berapa pun harga daging sapi, pedagang selalu bisa meraup untung. Bila tidak ditunggangi mafia sebagai bentuk bargaining kepada pemerintah, aksi mogok pedagang daging tidak relevan. Pedagang hanya diperalat mafia.

Terlalu sederhana alasan mogok APDI hanya sekedar terkait izin impor sebesar 50.000 ekor padahal permintaan impor asosiasi sebesar 250.000 ekor untuk kuartal ketiga tahun ini menjadi penyebab pasokan sapi berkurang, lalu pedagang daging di pasar sepi pembeli akibat harga jual yang tinggi. Pedagangtidak relevan ngurusin puluhan ribu ekor. Di sini ada politik daging dari pedagang daging sapi.

Senin (10/8/2015) lalu, Pemerintah memutuskan memberikan izin kepada Badan Urusan Logistik untuk mengimpor 50.000 sapi siap potong. Pemberian izin impor ini merupakan solusi untuk menstabilkan harga di pasar yang kian melambung. Semua sapi siap potong itu akan tiba di Indonesia pada akhir Agustus mendatang. Bulog akan melakukan operasi pasar untuk menjaga suplai yang kini terganggu akibat aksi mogok para pedagang daging.

Untuk memberikan efek jera kepada mafia “penimbun” daging sapi, pemerintah dapat memidanakan para pengusaha yang tidak mau melepas daging sapi miliknya ke pasar mengggunakan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang menyebutkan “bahwa pelaku usaha yang menyimpan barang atau penimbunan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp50 miliar.” Apalagi, ada upaya menghasut orang lain untuk melakukan tindakan serupa.

Jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dapat ditimbun adalah: beras medium, telur ayam ras, daging ayam ras, kedelai, susu, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, jagung pipi, garam beryodium, gula kristal putih, bawang merah, bawang putih, semua jenis cabe, ikan (ikan bandeng segar, ikan kembung segar, ikan tongkol), obat generik, vaksin, dan LPG 3 kg.

Untuk sedikit membatasi gerak mafia ini, sekaligus sebagai solusi jangka menengah, pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif kepada peternak sapi lokal sehingga produksinya meningkat. Peternak semestinya juga tidak menjual daging sapi dalam bentuk gelondongan kepada tengkulak. Tetapi, dalam bentuk daging segar secara langsung ke pasar. Dengan begitu sehingga kita tidak perlu impor, dan mampu berdaulat daging sapi. Tanpa subsidi dan insentif pada peternak sapi lokal, maka kita akan terus bergantung pada daging sapi impor.

Konsumen juga tidak perlu panik dengan melambungnya harga daging sapi. Sejatinya, masih banyak sumber-sumber protein lainnya yang bisa dikonsumsi menggantikan daging, seperti daging ayam, daging kambing, telur, tempe, tahu, atau mengikuti ajakan ibu Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, “Ayo makan ikan!”

Bandung, 11 Juli 2015

Bernard Simamora/08122011524