Home Politik DPR DIminta Jangan Buat Pasal Ambigu

DPR DIminta Jangan Buat Pasal Ambigu

198

Dewan Perwakilan Rakyat diminta tidak ambigu dalam membuat pasal perundang-undangan, khususnya mengenai komposisi hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor. Penyerahan komposisi majelis hakim Pengadilan Khusus Tipikor kepada ketua pengadilan negeri (PN) justru akan membuat problem baru pada masa mendatang, yaitu banyaknya intervensi dalam penentuan majelis hakim.

Hal ini disampaikan Ketua Tim Perumus Rancangan Undang- Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tipikor Romli Atmasasmita dalam diskusi tentang ”Pengadilan Tipikor sebagai Jiwa Pemberantasan Korupsi”, Kamis (18/9) di Jakarta. Pembicara lainnya adalah anggota Komisi III DPR, Lukman Hakim Saifuddin, dan wartawan Jurnal Nasional, Ramadhan Pohan.

”Tim Perumus RUU Pengadilan Khusus Tipikor sama sekali tidak menentukan. Waktu itu ada usul dari Indriyanto dan dicatat tim. Masuk ke Menteri Hukum dan HAM ternyata berubah, yaitu komposisi majelis hakim diserahkan ke ketua PN ini dimasukkan. Itu maunya menteri. Saya sebagai tim perumus tidak mau ikut bertanggung jawab,” kata Romli.

Ia melanjutkan, berbeda dari menteri sebelumnya yang selalu menaruh kepercayaan kepada Tim Perumus RUU, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta justru menambahkan sesuatu yang tidak diusulkan tim.

Romli mengatakan, kalau komposisi majelis hakim diserahkan ke ketua PN, yang terjadi adalah diskresi. Diskresi itu sangat rentan terhadap penyalahgunaan.

Romli menegaskan, Pengadilan Khusus Tipikor harus ada tersendiri karena pemberantasan korupsi yang diadopsi dari United Nations Convention Anti Corruption (UNCAC) amat luas. Dalam RUU Pengadilan Khusus Tipikor yang mengadopsi UNCAC, pihak asing yang korupsi bisa dijerat dan ditangkap.

”Jika dibawa ke pengadilan negeri, orang asing yang ditangkap karena suap atau korupsi bisa mempersoalkannya. Kita harus berpikir transnasional, korupsi sangat kompleks, perlu Pengadilan Khusus Tipikor yang kredibel dan berintegritas,” katanya.

Lukman Hakim mengatakan, pada 15 Oktober 2008 Komisi III DPR rapat dengar pendapat dengan Menteri Hukum dan HAM untuk pengesahan jadwal pansus. Lalu fraksi membuat daftar isian masalah. Pansus akan mendengarkan masukan pula dari berbagai kalangan. (vin)

Sumber : Kompas

You cannot copy content of this page