Beranda Ekonomi Energi Negatif Merevisi UU 13/2003

Energi Negatif Merevisi UU 13/2003

218

Oleh Bernard Simamora

Ngotot merevisi Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah akan memulai pertemuan tripartit (tiga pihak) untuk membahas draf. Pertemuan itu akan dimulai 12 April 2006 mendatang melibatkan pemerintah, serikat pekerja dan buruh, serta asosiasi pengusaha. Pemerintah tetap memandang perlu merevisi UU Ketenagakerjaan itu untuk membangun iklim investasi dan membuka lapangan kerja baru, bukan untuk menyengsarakan pekerja.

Dasarnya, menurut pemerintah, tingkat pengangguran yang sudah cukup tinggi seperti sekarang, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 10,8 juta akan menjadi snow ball atau bola salju kehidupan sosial. Untuk itu, investor diharapkan banyak masuk dan lapangan kerja semakin terbuka.

Revisi UU mencakup tentang masalah pengangkatan pekerja sebagai pekerja tetap/kontrak, tentang pesangon, dan outsourcing. Dan semua itu dimaksudkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang positif win-win solution.

Harus diakui bahwa sesuai tujuan revisi untuk membangun iklim investasi yang dipopuliskan sebagai semangat membuat kepastian hukum bagi industrial yang kondusif di negara ini, bagaimana pun pasti melemahkan posisi pekerja.

Unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun iklim investasi seyogianya tidak harus mengerucut menjadi masalah take home pay pekerja. Justru yang sering menjadi kendala masuknya investasi adalah masalah keamanan dalam negeri, masalah perijinan, pungutan liar, serta bentuk-bentuk ekonomi biaya tinggi lainnya.

Persoalan menjadi demikian rumit sejak rencana revisi UU 13/2003, oleh karena ditengah krisis ekonomi, yang seharusnya pekerja dikondisikan makin berdaya beli, justru hak-haknya dikebiri. Tambahan lagi, faktor-faktor lain seperti disebutkan selain ketenagakerjaan hampir tidak ada yang dibenahi secara signifikan. Barangkali malah mentalitas aparat pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan masuknya investasi, yang harus dibenahi secara revolusioner, alih-alih ketenagakerjaan.

Bila dilihat secara proritas, mentalitas aparat, prosedur perijinan, penghilangan pungutan liar, tax hollyday, barangkali yang lebih perlu dilakukan pembenahannya. Bukan malah melempar kontroversi ketenagakerjaan yang mengagitasi demontrasi para pekerja yang mencapai ratusan ribu di seluruh tanah air. Walhasil, iklim investasi yang ingin dikondusifkan, malah menjadi “chaos” dan instabilitas akibat mobilisasi pekerja berdemonstrasi, kerugian jam produktif para pekerja, kerugian jam operasi berbagai industri yang pekerjanya berdemonstrasi. Saat ini, setelah sejauh ini, iklim investasi dipastikan meredup untuk waktu tidak kurang dari 6 bulan.

Bila saja pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden SBY, Wapres JK dan Menteri Nakertrans lebih calculated dan well predictive, maka adalah sebuah kesalahan melakukan revisi UU 13/2003 saat ini. Lebih lagi, ketika unsur-unsur lain dalam mengkondusifkan investasi yang lebih pokok belum disentuh. Seharusnya, yang menyangkut ketenagakerjaan bisa merupakan pembenaahan iklim investasi bagian terakhir. Upaya merevisi UU 13/2003 jelas menghabiskan energi sia-sia, malah energi negatif. Langkah mundur.

Seharusnya kita berkaca, mengapa pekerja kita banyak yang memilih menjadi TKI sekali pun ilegal, alih-alih bekerja di negeri sendiri. Mengapa juga para investor, di negara lain dimana TKI kita mengadu nasib, tetap berinvestasi dengan gaji pekerja yang tidak kecil.

Perlu diingat juga, bahwa tujuan utama pembangunan bangsa, termasuk pembukaan lapangan kerja melalui iklim investasi yang menarik dan kondusif, pada akhirnya adalah juga kesejahteraan rakyat, yang dalam hal ini pekerja. Bilamana kesejahteraan “relatif” tersebut dijauhkan pemerintah dari rakyatnya, maka rakyat telah menjadi varia di negara sendiri, dan investor (yang hanya sebagian kecil, atau malah warga asing) menjadi raja-raja kecil bagi rakyat Indonesia di negeri sendiri. (A01/ Bernard Simamora) (April 2006).

dimuat di Surat Kabar pelita Indonesia April 2006