Beranda Politik Kebangkitan Moral

Kebangkitan Moral

216

oleh Sri Pannyavaro Mahathera

Kebutuhan kita, masyarakat Indonesia, sekarang tidak sekadar perubahan, tetapi kebangkitan moral. Pelaku korupsi bukan karena masalah miskin atau kaya. Pelanggar hukum bukan karena buta hukum atau justru mengerti hukum. Perusak lingkungan bukan lagi karena kebodohan tidak mengerti dampak hancurnya lingkungan atau malahan sudah terkena sendiri bencana akibat kehancuran lingkungan. Pelaku tindak kekerasan bukan lagi karena tidak beragama atau bahkan sangat mengerti agama.

Dengan kalimat lain: tidak hanya yang miskin, tetapi mereka yang kondisi ekonominya baik, yang sudah kaya, masih juga mencuri atau korupsi. Bukan hanya yang buta hukum, tidak punya wawasan lingkungan, ataupun tidak cukup pengertiannya tentang agama yang tidak berhenti melakukan perilaku buruk; tetapi mereka yang memiliki kecerdasan intelektual cukup, pemeluk agama: tidak pernah berhenti juga korupsi, melakukan tindak kejahatan, dan menghancurkan lingkungannya sendiri.

Kenikmatan membuat kerakusan

Dorongan apakah yang demikian kuat memotori perilaku buruk? Kekuatan yang menyeret banyak orang untuk tidak jera berperilaku buruk adalah kenikmatan. Kenikmatan membakar hawa nafsu untuk mencari pemuasan. Kepuasan yang dikejar memang bisa didapat, tetapi kenikmatan itu tidak abadi. Makin dinikmati, hawa nafsu makin menuntut. Tidak pernah puas. Makin haus! Lalu, menjadi ketagihan. Ketagihan akan kenikmatan inderawi ini telah memotivasi dan sekaligus mendorong perilaku buruk seseorang.

Ketagihan akan kenikmatan membuat orang melupakan kearifan Dharma, tidak peduli norma-norma hukum, tidak takut dengan sanksi moral atau akibat karma. Ketagihan membuat mabuk melahirkan kegilaan dan kerakusan. Kerakusan memakai semua cara buruk untuk mencapai tujuan. Kerakusan membuat kedudukan menjadi lembaga untuk berkuasa semata, bukan pintu melakukan kebajikan bagi banyak orang. Kerakusan membuat demokrasi dan hak asasi manusia diterjemahkan sebagai hak untuk bebas berbuat serta bebas menuntut apa pun. Kerakusan bahkan sering membuat simbol-simbol agama menjadi alat untuk memperbesar egoismenya.

Bumi Nusantara ini pernah dikuasai oleh penjajah dalam kurun waktu yang sangat lama, 350 tahun, sebab awalnya adalah kenikmatan bangsa asing terhadap kesuburan Tanah Air kita yang kemudian berkembang menjadi kerakusan menguasainya. Bukan hanya kerakusan penjajah yang menjadi penyebab, melainkan kerakusan para pemimpin anak bangsa Nusantara sendiri pada masa-masa itu terhadap kedudukan dan materi juga menjadi sebab terbesar penjajahan selama 3,5 abad. Penjajah bisa mengambil kekayaan alam kita tanpa batas. Akibat lain, persatuan bangsa sulit dibangun. Bangsa menjadi rapuh.

Mereka yang menjadi rakus dengan materi, kedudukan atau kekuasaan, bahkan popularitas sekalipun yang bermuara pada pemenuhan kepuasan diri seolah tidak takut terhadap apa pun atau siapa pun. Kalau banyak orang terjerumus dalam kerakusan kenikmatan inderawi, perubahan sistem dan pergantian pimpinan, peringatan dan tuntunan agama, seolah tidak ada artinya. Perubahan ke arah yang lebih baik hanya berhenti pada wacana atau bahkan menjadi impian panjang.

Mencerahkan

Sekarang kita memerlukan kebangkitan moral. Moral kita masing- masing harus bangkit menghadapi kehausan akan kenikmatan yang sering menyusup menghasut kita.

Kita tidak hanya perlu ketegaran menghadapi bencana di sekitar kita dan penderitaan hidup ini, tetapi ketegaran juga sangat kita perlukan untuk menjaga moralitas dan perilaku kita.

Kalau kegilaan atau kerakusan terhadap kenikmatan inderawi tidak mempan dengan ancaman rasa malu, hukuman, bahkan konsekuensi karma buruk, pencerahan harus mendasari komitmen untuk mengubah sikap mental. Masukkan kearifan ke dalam pemikiran bahwa tidak ada yang abadi di semesta ini.

Kenikmatan apa pun hanyalah sementara. Kenikmatan yang menjelma menjadi kegilaan akan benar-benar membuat orang menjadi gila. Namun, kenikmatan yang dicapai dengan kearifan, yang merupakan buah dari perilaku bajik, meski juga hanya sementara, akan membuahkan perbaikan dan kebahagiaan. Kearifan ini adalah dasar. Kearifan ini harus menjadi pencerahan yang harus ditanamkan oleh diri sendiri dalam lubuk pemikirannya sendiri. Bukan harus dipaksakan dari luar, dan bukan pula dengan ancaman semata.

Kearifan atau kebijaksanaan (pannya) yang tumbuh di dan dari dalam diri kita akan melandasi perubahan sikap mental. Moral harus kita bangkitkan sendiri menghadapi kerakusan yang memberikan kenikmatan sesaat, tetapi membuahkan penderitaan berkepanjangan bagi diri sendiri, lingkungan, serta orang banyak.

Waspada ke dalam

Memang tidak mudah mengubah sikap mental. Memang tidak mudah membangkitkan moralitas yang tegar dan tangguh. Lingkungan sosial, dan sekali lagi, kenikmatan, selalu memanggil- manggil tiap orang untuk berperilaku buruk. Namun, awasilah perasaan dan pikiran ini. Awasi sendiri karena orang lain tidak mungkin mampu mengawasi perasaan dan pikiran kita. Awasi dengan penuh perhatian! Awasi terus! Awasi dengan ketekunan. Ketagihan (upadana) yang melahirkan kerakusan atau kegilaan akan berhenti menghasut pikiran kita bila kita menghadapinya dengan perhatian penuh, dengan kewaspadaan ke dalam diri.

Asahlah kewaspadaan itu agar menjadi tajam. Kita mempunyai kekuatan di dalam (inner strength) untuk membebaskan pikiran kita sendiri dari kehausan akan kenikmatan. Kewaspadaan atau perhatian penuh terhadap perasaan yang selalu menarik- narik pikiran, kewaspadaan atau perhatian penuh terhadap pikiran yang selalu menjadi pendorong semua perbuatan, adalah kunci melakukan perbaikan moralitas kita.

Perbaikan moralitas itu adalah kebangkitan moral yang kini kita butuhkan untuk menjaga serta membawa bangsa ini maju. Kebangkitan moral itu adalah tuntutan kita untuk diri kita masing-masing. Kesungguhan dan ketulusan kita akan menjadi teladan bagi yang lain. Kebangkitan moral bukan semata seruan atau tuntutan bagi orang lain.

”Kebajikan moral adalah sebagai dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang baik dan indah. Oleh karena itu, ”hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral” (Theragatha 612).

Sri Pannyavaro Mahathera Bhikkhu Kepala Vihara Mendut, Magelang

sumber: kompas