Beranda Klinik Hukum Kenaikan Harga Elpiji 12 Kilogram dan Akrobat Politik

Kenaikan Harga Elpiji 12 Kilogram dan Akrobat Politik

236

Tahun baru 2014 ternyata berwajah buram bagi takyat Indonesia, namun berkilau bagi sejumlah politisi dan partai politik. Pasalnya, tanggal 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual elpiji 12 kilogram (kg) dari Rp 5.850 per kg menjadi Rp 9.809 per kg. Sehingga harga jual dari Pertamina sebelumnya Rp 70.200 per tabung menjadi 117.708 per tabung atau kenaikan sebesar 67 persen. Hal ini ditenggarai sebagai politisasi untuk kepentingan pemilu 2014.

Aksi korporasi Pertamina di awal tahun politik ini dapat diduga merupakan desain kesempatan berakrobat politik bagi para penunggang, antara lain politisi dan partai koalisi pendukung pemerintah, untuk menciptakan atau mengambil kesempatan pencitraan, dongkrak elektabilitas, pengalihan isu, atau menjadi pahlawan kesiangan. Logis, karena partai-partai koalisi pendukung SBY sedang terpuruk dan seperti mau ditinggalkan pemilih pada Pemilu 2014. Para penunggang kepentingan ini telah memperlakukan masyarakat layaknya kelinci percobaan.

Aksi Akrobatik Pemerintah

Presiden SBY tampaknya pura-pura tidak mengetahui rencana Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), segala kegiatan dan keputusan Pertamina seharusnya diketahui pemerintah. Kalau Presiden dan Menko Perekonomian mengatakan naiknya harga elpiji 12 kilogram sebagai aksi korporasi Pertamina, pernyataan ini sarat kebohongan. Kenaikan harga itu tidak mendadak, melainkan sudah direncanakan dan diketahui pemerintah.

Bayangkan, Presiden SBY sebagai kepala negara mengkritik Pertamina melalui akun Twitter-nya terkait kenaikan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kg yang tidak terlebih dulu berkoordinasi dengan pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga. Padahal presiden semestinya bukan menempatkan diri sebagai kritikus, melainkan sebagai pemilik otoritas yang sangat kuat dalam mencegah kenaikan, pun membatalkan kenaikan harga prosuk Pertamina.

Akrobat ini sangat mudah ditebak arahnya. Presiden SBY melempar masalah atau “kegalauan” kepada rakyat melalui para menterinya dan Pertamina, yang kelak kemudian dipersalahkan, lalu presiden memunculkan diri sebagai “The Hero” yang pro rakyat. Di akun Twitter-nya @SBYudhoyono, Minggu (5/1/2014) dini hari mengatakan, “Kebijakan yang membawa dampak luas ini tidak dikoordinasikan dengan baik dan persiapannya pun juga kurang. Ini harusnya tidak boleh terjadi.

Masih dalam aksi akrobat, Presiden SBY mengatakan, kewenangan menaikkan harga elpiji nonsubdisi memang berada di Pertamina bahkan tidak harus lapor Presiden. Hanya, menurut SBY, pemerintah perlu ikut menangani masalah elpiji karena menyangkut rakyat banyak. Padahal, mekanisme pelaporan tentang penyediaan dan pendistribusian elpiji telah diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan BUMN berada di bawah tangan Menteri BUMN. Jika tidak sesuai mekanisme, jangankan Presiden, menteri ESDM dan Meneg BUMN dapat menegur bahkan memecat direksi Pertamina. Bagaimana pun, rencana kebijakan perubahan harga elpiji 12 kilogram pasti telah dilaporkan kepada Menteri ESDM Jero Wacik. Karena kenaikan harga elpiji berdampak sangat luas dan signifikan terhadap kehidupan rakyat, Jero Wacik pasti tidak berani bertindak sendirian. Dia akan berkoordinasi dengan Menko Perekonomian, Meneg BUMN, bahkan Presiden.

Sebagai BUMN, Pertamina harus tetap tunduk pada pemerintah. Apalagi, Pertamina mengelola komoditas yang memengaruhi hajat hidup orang banyak. Jadi, kalau tidak disetujui SBY, Pertamina tidak akan berani menaikkan harga gas elpiji.

Maka jelas, para menteri yang notabene adalah politikus bahkan ketua partai politik maupun peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat, yang tengah sibuk beriklan di berbagai media massa turut berakrobat dalam kasus kenaikan harga Elpiji. Demikian halnya, partai koalisi pendukung pemerintah seperti Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS turut “menggaruk” keuntungan mendokrak citra elektabilitas partai melalui berbagai statemen pro-rakyat yang sarat kepura-puraan.

Aksi Akrobatik Partai-Partai Koalisi

Aksi panggung Partai Demokrat yang menolak kenaikan harga Elpiji Tabung 12 Kg yang dilakukan Pertamina disampaikan Mohamad Ikhsan juru bicaranya. Menurutnya, kenaikan harga akan memberatkan biaya hidup masyarakat banyak, dan akan mengakibat dampak berantai berupa inflasi yang berpotensi menambah tekanan inflasi, dan jumlah orang miskin. Partai Demokrat meminta pemerintah dan PT Pertamina untuk segera mengevaluasi dan membatalkan keputusan kenaikkan harga elpiji 12 kg tersebut. Aksi konyol juga ditunjukkan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Nurhayati Ali Assegaf, yang mengapresiasi atas reaksi cepat yang dilakukan Presiden SBY untuk meminta Pertamina mengkoreksi ulang kenaikan harga elpiji 12 kg dalam tempo 1×24 jam. Namun publik balik bertanya, mengapa bukan sebaliknya 1×24 jam sebelum harga elpiji dinaikkan SBY bertidak?

Partai Amanat Nasional juga bereaksi menolak kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang telah diputuskan Pertamina. Wakil Ketua Umum PAM Drajad Wibowo membantah sikap partainya itu merupakan upaya pencitraan menjelang pemilu. Ia mengatakan, sikap penolakan seharusnya disampaikan pemerintah dan DPR. Apalagi, menurut dia, keputusan menaikkan harga elpiji oleh Pertamina disebut tak disertai komunikasi yang baik dengan pemerintah. Dia meminta Pertamina membatalkan kenaikan harga elpiji. Bahkan, Ketua Fraksi PAN di DPR Tjatur Sapto Edy mewacanakan pembentukan Panitia Kerja di DPR terkait hal itu. Publik mempertanyakan, apa saja yang dikerjakan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN saat-saat pertamina mau menaikkan harga elpiji?

Partai Keadilan Sejahtera tidak ketinggalan mengeritik kenaikan harga elpiji 12 kg. Ketua DPP PKS, Indra, menilai publik disuguhi adegan lawakan memalukan dan memuakkan Presiden SBY. Menurutnya, kenaikan harga elpiji 12 kg jelas menimbulkan dampak yang besar terhadap masyarakat. Kenaikan ini memberikn efek domino naiknya harga-harga barang dan memicu inflasi. Menurut Indra, dagelan yang tidak lucu ini juga disempurnakan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan yang dengan entengnya mengaku salah atas kekisruhan yang terjadi sebagai akibat karena kurangnya koordinasi. Indra menduga, SBY sedang cuci tangan atas kebijakan pemerintahannya yang tidak pro rakyat atau sudah tidak dianggap lagi oleh para pembantunya.

Partai Persatuan Pembangunan menilai langkah Pertamina menaikkan harga jual elpiji nonsubsidi kemasan 12 kilogram telah mendorong pemakai bermigrasi ke elpiji subsidi 3 kilogram yang dibiayai APBN. Menurut Sekjen PPP Romahurmuziy, Pertamina jangan menyikapi dirinya sebagai negara dalam negara yang melakukan kenaikan tanpa melakukan sosialisasi ataupun pembicaraan sama sekali. Menurutnya, memang hak Pertamina sebagai korporasi menaikkan harga jual elpiji kemasan 12 kilogram. Tapi Pertamina juga mestinya menyadari kalau ternyata dampak kenaikan harga jual elpiji membuat sengsara.

Tidak ketinggalan, Partai Golkar melalui Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis meminta Pemerintah dan Pertamina membatalkan kenaikan harga LPG tersebut. Menurutnya, masih banyak solusi lain yang bisa ditempuh agar harga LPG itu tidak naik. Kondisi saat ini tidak tepat karena masyarakat sedang menghadapi banyak beban menyusul berbagai kenaikan harga pada tahun lalu seperti harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik. Bahkan Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai, Presiden SBY pura-pura tidak mengetahui rencana Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), segala kegiatan dan keputusan Pertamina seharusnya diketahui pemerintah. Menurutnya, kalau Presiden dan Menko Perekonomian mengatakan naiknya harga elpiji 12 kilogram sebagai aksi korporasi Pertamina, pernyataan ini sarat kebohongan. Kenaikan harga itu tidak mendadak, melainkan sudah direncanakan dan diketahui pemerintah. Bambang mengatakan, ini modus menaikkan, pura-pura kaget dan marah. Lalu menurunkan, untuk pencitraan.

Kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ditengarai dimanfaatkan untuk tujuan politik jelang pemilihan umum. Pemerintah dinilai sengaja memanfaatkan polemik itu untuk dipolitisasi. Patut dicurigai ada politisasi karena ada beberapa keanehan. Kecaman-kecaman yang dilancarkan partai politik terkait kenaikan harga elpiji itu dilakukan untuk mengeruk keuntungan jelang pemilu. Partai koalisi pendukung pemerintah mengecam keras kebijakan itu agar tampak heroik di mata publik. Pertamina telah dijadikan sebagai sasaran tembak, kemudian untuk dipolitisasi supaya nampak ada partai-partai yang heroik, yang tadinya ada di pemerintahan.

Aksi akrobat politik sejenis yang sering dilakukan politisi negeri ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak percaya kepada partai politik. Sangat logis bila hasil survei Cirus Surveyors Group selama 40 hari pada November hingga Desember 2013 mengungkapkan, hanya 9,4 persen responden yang menyatakan masih percaya pada parpol. Sebanyak 40 persen responden dalam survei itu tidak percaya lagi kepada partai politik, dan 39,2 persen responden lain kurang percaya pada lembaga demokrasi itu.

Memang, selain akibat aksi akrobat, anjloknya kepercayaan publik terhadap parpol dipicu oleh banyaknya tokoh dan kader parpol yang terseret kasus tindak pidana korupsi. Selain itu, publik menilai kinerja dan fungsi parpol sebagai pilar utama demokrasi sangat buruk. Dalam survei tersebut, sebanyak 75,4 persen responden menyatakan bahwa parpol belum menjalankan fungsinya untuk melakukan penyuluhan dan pelatihan demokrasi, pemerintahan, dan pemilu, dan kaderisasi maupun rekrutmen yang dilakukan parpol juga dinilai sangat rendah kualitasnya.

Dalam pemilu 2014 nanti, para pemilih diharapkan makin jeli menilai aksi-aksi politisi, apakah sekedar memuaskan syahwat kekuasaan semata, atau betul-betul untuk memberikan pelayanan kepada rakyat. Pemilih juga tidak perlu tergoda oleh postur tubuh yang tegap, tampak berwibawa, melankolis, tetapi pemain akrobat politik. Para politisi juga harus menyadari, rakyat tidak lagi sebodoh yang mereka perkirakan.

Bandung, 6 Januari 2014

Bernard Simamora