Beranda Klinik Hukum KPU Pakai Nomor Urut, Partai Politik Dinilai Tidak Konsisten

KPU Pakai Nomor Urut, Partai Politik Dinilai Tidak Konsisten

291

Komisi Pemilihan Umum menegaskan hanya mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana calon anggota legislatif ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih.

Menurut Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di Jakarta, Kamis (14/8), jika dalam satu daerah pemilihan bakal caleg yang memperoleh suara minimal 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) lebih dari satu, caleg terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut terkecil.

Jika tidak ada satu bakal caleg dalam satu parpol yang memperoleh 30 persen BPP atau jumlah caleg yang memperoleh 30 persen BPP kurang dari perolehan kursi yang diperoleh parpol, penentuan caleg dilakukan dengan menggunakan nomor urut.

Secara terpisah, anggota KPU, I Gusti Putu Artha, meminta parpol menjelaskan kepada masyarakat tentang proses penentuan caleg terpilih sesuai UU. Jika parpol ingin mengubah penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, parpol harus segera mengubah UU.

Seperti diberitakan, sejumlah partai politik besar seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional menegaskan akan menggunakan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut. Alasannya, sistem proporsional terbuka dinilai lebih adil karena memberikan kesamaan kesempatan kepada caleg.

Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Caleg KPU Endang Sulastri menegaskan, perjanjian antara parpol dan bakal caleg hanya mengikat kedua belah pihak, tidak mengikat KPU. KPU tetap berpegang sesuai aturan UU dan tidak akan terpengaruh dengan perjanjian antara parpol dan bakal caleg.

Caleg terpilih tidak dapat diganti oleh parpol hanya berdasarkan perjanjian antara parpol dan caleg. Penggantian caleg terpilih oleh parpol dengan alasan pengunduran diri harus disertai surat pengunduran diri dari caleg terpilih yang bersangkutan.

Tidak konsisten

Wacana penentuan caleg dengan suara terbanyak juga meresahkan para aktivis perempuan dan bakal caleg perempuan dalam parpol. Wacana ini dipastikan akan membuat langkah afirmasi mengakomodasi caleg perempuan 30 persen dalam setiap urutan tiga bakal caleg akan sia-sia.

”Tindakan parpol yang mewacanakan suara terbanyak tidak konsisten dengan proses afirmasi bagi upaya mewujudkan 30 persen perempuan dalam lembaga legislatif,” kata Direktur Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber juga menyesalkan sikap partai yang tidak konsisten dalam menentukan mekanisme penetapan calon anggota legislatif.

Saat pembahasan rancangan undang-undang di DPR, partai tersebut mendukung penetapan caleg berdasarkan nomor urut. Namun, setelah rancangan undang-undang disahkan malah menerapkan caleg berdasarkan perolehan suara terbanyak.

”Partai seperti itu hanya mencoba cari muka saja kepada kadernya,” ucap Djafar.

Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Tjahjo Kumolo tidak setuju UU diubah. Apabila ada partai yang tidak mau melaksanakan penetapan caleg sesuai UU, lebih baik diatur di internal partai bersangkutan. F-PDIP tidak setuju penetapan caleg sepenuhnya berdasarkan perolehan suara terbanyak karena masih menggunakan sistem proporsional, bukan sistem distrik murni.

Sepi

Pendaftaran bakal calon anggota legislatif hari pertama untuk DPR pada Pemilu 2009 masih sepi. Belum ada satu pengurus partai politik pun yang menyerahkan daftar nama bakal caleg mereka ke KPU. (MZW/SUT)

sumber : kompas