Beranda Klinik Hukum Menjaga Kepercayaan Bank

Menjaga Kepercayaan Bank

208

Oleh Krisna Wijaya

Mengapa bank selalu disebut sebagai lembaga kepercayaan? Ini tidak lain karena bank menjual surat berharga berupa giro, tabungan, dan deposito. Nasabah yang datang ke sebuah lembaga bank membawa uang mereka yang kemudian digantikan dengan surat berharga dari lembaga bank yang bersangkutan.

Tentunya ini tergantung dari jenisnya, seperti simpanan dalam bentuk tabungan, maka nasabah akan mendapatkan buku tabungan. Yang menyimpan dalam bentuk giro akan mendapatkan cek dan atau bilyet giro serta bilyet untuk deposito.

Mengapa surat atau dokumen itu menjadi berharga? Ini karena dengan menunjukkan kepemilikan dokumen tersebut, misalnya berupa bilyet deposito, nasabah dapat mencairkan dananya sesuai dengan persyaratan yang diberlakukan.

Karena berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank, kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk merahasiakan siapa yang membeli surat berharganya. Atau, dalam bahasa keseharian, bank menjaga kerahasiaan informasi yang berkaitan dengan nasabahnya.

Ada yang berpendapat, kalau begitu, bank bisa saja menjual surat berharga simpanannya kepada siapa saja, termasuk orang yang tidak jelas identitas maupun legalitasnya. Tentunya tidak. Bank diwajibkan melakukan identifikasi risiko melalui apa yang disebut dengan know your customer (KYC). Melalui penerapan KYC, bank melakukan pencatatan informasi mengenai nasabahnya.

Hal lain yang juga harus dilakukan dalam kerangka menjaga kepercayaan adalah diberlakukannya kewajiban untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan. Transaksi yang mencurigakan tidak selalu bisa divonis sebagai sebuah tindak kejahatan atau bagian dari tindak kejahatan.

Misalnya, kalau melakukan transfer di atas Rp 500 juta, pihak nasabah wajib mencantumkan baik sumber maupun peruntukan dari dana tersebut. Kalau nasabah tidak mau menjelaskan, pihak bank akan memasukkan transaksi tersebut sebagai transaksi yang mencurigakan.

Menjaga kerahasiaan nasabah merupakan kewajiban bank yang dilindungi oleh undang- undang. Sekalipun ada masalah hukum terhadap nasabahnya, tanpa memenuhi persyaratan yang diberlakukan undang-undang, pihak bank wajib hukumnya untuk tidak memberikan.

Stabilitas perbankan

Mengapa praktik-praktik perlindungan kepada nasabah penyimpan sedemikian ketatnya? Ini tidak terlepas dari selain upaya menjaga kepercayaan terhadap bank, juga bagian dari yang tidak terpisahkan untuk menjaga stabilitas perbankan. Mengapa ada keterkaitan dengan kepercayaan dan stabilitas perbankan?

Pertama, stabilitas perbankan dalam praktiknya lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan pihak bank mengelola sumber dan penggunaan dananya. Sudah menjadi ciri bisnis perbankan di mana pun bahwa simpanan selalu berdurasi jangka pendek, sementara pinjaman berdurasi lebih panjang.

Kedua, sifat surat berharga, baik dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito, tidak dapat diperdagangkan, tetapi bersifat likuid. Jadi, sebuah bank sangatlah sensitif kalau simpanannya ditarik seketika dan dalam jumlah dana yang besar, sementara sumber dananya belum kembali karena masih dipergunakan untuk kredit.

Oleh sebab itulah, adanya rumor, misalnya, atau banknya dinyatakan tidak bisa ikut atau kalah kliring sangat pasti direspons nasabah secara cepat dengan cara sesegera mungkin mencairkan dana mereka pada bank tersebut.

Dengan kedua ciri tersebut, secara naluriah setiap bankir selalu menjaga sumber dan penggunaan dananya dengan baik dan hati-hati agar tidak mengalami kesulitan. Agar terhindar dari masalah tersebut, upaya membangun loyalitas nasabah selalu menjadi prioritas.

Berbagai upaya yang dilakukan sering kali gagal manakala faktor-faktor eksternal tidak kondusif. Ada faktor-faktor eksternal yang bisa memicu, seperti suasana yang penuh ketidakpastian, baik dalam politik, keamanan, maupun sosial.

Kasus Bank Century

Salah satu faktor eksternal yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian adalah aktivitas dalam rangka menangani persoalan penyelamatan Bank Century. Bukan hal yang berlebihan sekiranya aktivitas tersebut sangat menarik perhatian karena begitu terbukanya kegiatan tersebut dipublikasikan.

Fenomena tersebut merupakan hal baru, karena itu menjadi ”tontonan” yang menarik sehingga mengundang berbagai respons dari penontonnya. Mulai dari cara dan gaya bicara sampai sikap, perilaku, dan etika menjadi bagian yang diperbincangkan. Untuk dan atas nama berdemokrasi, hal itu semua tampaknya tidak dipermasalahkan.

Ada jargon yang mengatakan, kalau ada orang digigit anjing, bukan berita. Baru menjadi berita kalau kejadiannya terbalik. Pernyataan yang datar-datar saja sekalipun benar sering bukan menjadi berita, tetapi hal-hal yang belum pasti kebenarannya malah yang menjadi berita. Itu semua juga dalam kemasan yang sama untuk dan atas nama demokrasi.

Sering kurang disadari bahwa distorsi informasi menghasilkan sebuah rumor dan dengan kemasan yang baik menjadi semakin dipercaya. Kondisi inilah yang harus dicermati karena sangat berpeluang menimbulkan ketidakpercayaan khususnya terhadap perbankan yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas perbankan nasional.

Apa pun upaya yang akan dilakukan dalam menuntaskan penyelamatan Bank Century seyogianya tetap pada koridor asas praduga tak bersalah, mematuhi hukum, dan dipertimbangkan dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap bank.

Semua pihak harus bijak menyikapinya agar tidak menyuburkan rumor, rasa takut, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.

Kita tentunya tidak menginginkan menyelesaikan suatu masalah, tetapi dengan menghasilkan masalah yang lebih besar lagi, yaitu berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang berujung pada terganggunya stabilitas perbankan. Kalau ini terjadi, sangat pasti biayanya akan sangat lebih mahal.

(sumber : Kompas)