Beranda Politik Obama, Johnson, dan Politik Ras

Obama, Johnson, dan Politik Ras

225

oleh R William Liddle

Sebagai seorang liberal dan Demokrat, saya kagum sekali saat mendengarkan pidato Barack Obama saat dia menerima pencalonannya sebagai presiden Amerika Serikat dalam konvensi partai minggu lalu. Dia tekankan janji utamanya: Change we can believe in, perubahan yang bisa kita yakini.

Namun, ia juga merinci sejumlah kebijakan khas yang akan diperjuangkan, yaitu asuransi kesehatan untuk semua, perbaikan mutu pendidikan, peningkatan pertumbuhan sekaligus pemerataan ekonomi, pengurangan ketergantungan AS pada minyak Timur Tengah, penarikan kembali tentara AS dari Irak, serta peningkatan dukungan kami kepada Pemerintah Afganistan.

Lengkap, sempurna, sebagai langkah awal sebuah kampanye nasional. Itulah kesimpulan saya setelah menonton pidato Obama malam itu. Namun, koran pagi membawa berita lain. Ternyata saya tidak mewakili seluruh partai saya. Masih banyak aktivis, khususnya orang keturunan Afrika, yang memasalahkan pendekatan Obama.

Misalnya, Juan Williams, komentator radio dan TV publik tersohor (saya juga mengaguminya), dan penulis sejarah perjuangan kaum Afrika-Amerika yang dipimpin Martin Luther King Jr pada paruh kedua abad ke-20. Keluhan Williams: Obama telah menjadi seorang stealth candidate, calon yang merahasiakan pandangan sejatinya perihal penuntasan masalah ras di Amerika. Dengan nada amat kecewa, Williams bersikeras agar Obama berperan selama kampanye selaku nurani bangsa. Racial justice is beyond bargaining, keadilan ras tak tertawarkan.

Ketimbang imbauan Williams, saya lebih menyukai pendekatan pemenang Hadiah Pulitzer Robert Caro, penulis biografi empat jilid Lyndon Johnson, politikus Demokrat yang menjabat presiden 1963-1968. Menurut Caro, yang penting adalah hasil akhir sebuah perjuangan, bukan pernyataan muluk di tengah jalan. Baginya, Johnson adalah seorang ”jenius politik” yang memungkinkan pencalonan Obama beberapa puluh tahun kemudian.

Sebelum menjadi presiden, Johnson mewakili Negara Bagian Texas di Kongres selama puluhan tahun dan sempat menjadi ”orang kuat” di Senat. Kekuatannya, yang dikembangkan secara gradual, berdasarkan dua hal. Ia tahu betul bagaimana memanfaatkan berbagai sumber daya politik yang dikuasainya buat membujuk atau memaksa orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dan, ia sengaja memilih untuk menggantungkan nasibnya pada dukungan para senator dari negara-negara bagian Selatan, politisi putih yang hampir semua membela rasisme.

Historis

Kemudian Johnson berubah. Pada tahun 1957, ia memperjuangkan dengan segala keterampilan politiknya rencana undang-undang hak sipil pertama yang berhasil diundangkan (meski dalam bentuk yang lemah) di Senat sejak tahun 1870.

Pada tahun 1965, saat gerakan hak sipil yang dipimpin Martin Luther King Jr menuju puncaknya, Johnson sebagai presiden bertindak lebih drastis. Ia mengirim ke Kongres sebuah voting rights act, rencana undang-undang hak bersuara yang historis, guna menghapus semua peraturan yang masih menghalangi orang-orang Afrika-Amerika di TPS-TPS di Selatan.

Banyak orang Amerika yang menangis, termasuk King sendiri, ketika Johnson mengucapkan kata-kata luhur gerakan hak sipil, we shall overcome, kita akan mengatasi segala rintangan. Saya sendiri merasa kagum, tetapi sekaligus kaget sebab bagaimanapun juga Johnson adalah orang putih yang lahir dan dibesarkan dalam suasana rasis di Selatan.

Caro menghubungkan langsung dampak undang-undang itu dengan kenyataan masa kini. Tegasnya, Barack Obama dipilih sebagai calon presiden Partai Demokrat, antara lain, oleh karena pada 2008 semua orang Afrika-Amerika punya hak suara.

Gerangan apa yang menyebabkan pembela rasisme Lyndon B Johnson bertiwikrama menjadi salah satu pejuang utama hak asasi kaum Afrika-Amerika? Secara pribadi, Johnson tidak pernah berprasangka buruk terhadap orang Afrika-Amerika. Sejak kecil ia percaya, semua manusia diciptakan sama oleh Tuhan.

Dalam benak Johnson, menurut versi Caro, ambition and compassion, ambisi dan rasa sayang, baru bertemu tahun 1957. Johnson menyadari, untuk menjadi presiden, ia harus meninggalkan ”bau Magnolia”, bunga harum yang sejak abad ke-19 melambangkan budaya politik reaksioner di Selatan.

Buku Caro bertujuan membuktikan bahwa Lyndon B Johnson memainkan peran penting dalam memenangi perjuangan hak sipil kaum Afrika-Amerika.

Dia benar, tetapi ada pelajaran lain yang tak kalah penting bagi kita semua. Dalam politik, suatu kemenangan besar tidak selalu menuruti jalan lurus. Barack Obama tidak mencanangkan keadilan rasial sebagai salah satu sendi kampanyenya.

Meskipun demikian, saya meyakini, keadilan rasial, beserta keadilan kelas, akan bertambah baik jika Obama berhasil dipilih sebagai Presiden Amerika pada tanggal 4 November mendatang.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, AS