Beranda Ekonomi Subsidi untuk Petani Belum Jelas

Subsidi untuk Petani Belum Jelas

203

Seratus tahun Kebangkitan Nasional adalah saat yang tepat untuk melakukan perenungan (kontemplasi) dan selanjutnya merumuskan langkah-langkah strategis dalam berbagai aspek untuk memantapkan eksistensi dan keberlanjutan negara yang amat kita cintai ini.

Melalui serangkaian kebijakan dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya, negara memanglah harus semakin memantapkan eksistensi dan keberlanjutan negara; semakin mengamankan negara dari berbagai ancaman pada masa kini maupun pada masa depan; dan memajukan perikehidupan berbangsa dan bernegara di segala bidang, termasuk kesejahteraan rakyat dan peradabannya.

Meski belum sempurna, kita patut bersyukur telah melalui dua pemilu yang demokratis menjelang yang ketiga; berbeda dengan Zimbabwe dan beberapa negara lain yang merosot sistem politik/demokrasinya.

Pemerintahan SBY-JK sudah berusaha keras membawa bangsa ini pada kemajuan, tetapi tampaknya lingkungan tidak membantu, berupa aneka bencana alam, harga minyak yang meningkat, harga pangan yang meningkat, partai-partai pemerintah yang tidak memerankan posisinya dengan ideal, dan lain-lain.

Situasi ekonomi kian sulit, utamanya dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan dan bahan bakar di pasar dunia.

Harga beras naik dari 165 dollar AS per ton pada tahun 2000, sekarang menjadi sekitar 800 dollar AS per ton; harga gula naik dari 220 dollar AS sekitar tahun 2000, sekarang menjadi sekitar 700 dollar AS per ton; harga CPO naik dari 220 dollar AS per ton tahun 2000, sekarang menjadi 1.100 dollar AS per ton. Harga jagung naik dari sekitar 90 dollar AS per ton menjadi sekitar 220 dollar AS per ton dalam waktu kurang dari satu tahun. Kedelai naik dari sekitar 300 dollar AS per ton menjadi sekitar 600 dollar AS per ton dalam waktu kurang dari satu tahun. Harga gandum naik dari sekitar 300 dollar AS per ton menjadi sekitar 700 dollar AS per ton dalam waktu kurang dari satu tahun, dan menyulitkan Indonesia sebagai importir besar.

Di sisi lain, peningkatan harga minyak mentah hingga di atas 120 dollar AS per barrel kurang membawa berkah bagi Indonesia karena posisinya sebagai importir netto, di samping amat menekan APBN, berupa subsidi yang sangat besar.

Kondisi di atas merintangi upaya Presiden SBY yang menyusun target cukup berani dalam memberantas kemiskinan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 ditargetkan pengurangan angka kemiskinan dari 18,2 persen tahun 2002 menjadi 8,2 persen tahun 2009. Adapun angka pengangguran terbuka diharapkan turun dari 8,1 persen tahun 2002 menjadi 6 persen tahun 2009.

Dengan kenaikan harga pangan dan BBM, orang miskin berpotensi meningkat sebesar 15 persen, atau tambahan 19,01 juta jiwa lebih (sehingga total orang miskin mencapai 56,6 juta jiwa) pada tahun ini; sementara tambahan pengangguran terbuka baru bisa mencapai 18,61 jiwa sehingga total penganggur terbuka mencapai 29,94 juta jiwa.

Kondisi ini membuat semua capaian makroekonomi yang dibuat pemerintah SBY-JK akan rontok. Inflasi yang meningkat akan menggerogoti pertumbuhan serta meluasnya kemiskinan dan pertambahan pengangguran akan menurunkan daya beli. Menurut APBN-P, inflasi 2008 ditargetkan 5,6 persen, sementara pada periode Januari-April sudah mencapai 4,1 persen.

Situasinya menjadi benar-benar kompleks dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negeri kita; begitu banyak faktor instabilitas yang terjadi bersamaan.

Lemah implementasi

Kualitas pemerintah sedang diuji. Rakyat tak akan seresah ini bila pemerintah cukup meyakinkan dari awalnya. Sebagian rakyat menyangsikan kemampuan pemerintah menghadapi krisis besar yang menghadang kita. Pemerintahan memang memiliki kemampuan kehumasan yang tinggi dan memiliki program- program yang bagus di tingkat perencanaan, seperti Triple Track Strategy: pro growth, pro job, dan pro poor, tetapi lemah dalam implementasi dan menganggap masalah selesai kalau sudah tersusun konsep yang baik.

Revitalisasi pertanian sudah dicanangkan sejak 2005, tetapi impor pangan kita meningkat terus. Konsep reforma agraria untuk membagikan 15,7 juta hektar untuk petani yang dicanangkan tahun 2005 sampai hari ini belum terealisasi. Isyarat lain yang ditangkap rakyat bahwa pemerintahan ini kurang dapat diharapkan juga tampak sejak tahun 2006 ketika angka kemiskinan meningkat menjadi 17,75 persen atau 39,75 juta jiwa.

Rakyat juga menyaksikan bagaimana pemerintah tak mampu mengatasi jalan-jalan yang berlubang di berbagai daerah, biaya angkutan yang mahal, banjir di berbagai tempat juga di Jakarta, bahan pokok yang harganya terus naik, PLN yang sering padam, bahkan juga di daerah tempat sumber energi migas dan batu bara, seperti Kaltim dan Riau, gas dan batu bara dijual murah.

Bila diingatkan, pemerintah biasanya sibuk membantah, menyalahkan kondisi global, dan menyodorkan kebijakan-kebijakan yang cenderung mengambil jalan pintas.

Pemerintah SBY-JK perlu menyadari bahwa banyak negara lain yang hidup di dunia yang sama, dengan problem dunia yang sama, berada pada kondisi yang maju pesat, lebih sejahtera, dan negaranya makin kaya.

Dalam rangka kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) plus. Penurunan angka kemiskinan yang bersifat langgeng hanya bisa dicapai dengan penyediaan lapangan kerja. Kebijakan BLT akan mendidik rakyat kita menjadi pengemis. Tugas utama bagi pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja dan manusia memuliakan dirinya dengan bekerja. Rakyat juga memerlukan tantangan karena hidup tanpa tantangan tak sesuai dengan naluri hidup itu sendiri. Peningkatan raskin dan BLT akan menurunkan angka kemiskinan secara semu, dan terlebih dari itu membentuk jiwa yang miskin. Menurunnya raskin dan BLT harus menjadi orientasi pemerintah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena masyarakat yang semakin sejahtera tak memerlukannya.

Salah urus

Secara umum negara ini sudah salah urus, negara menjadi makin miskin karena utang luar negeri yang bertambah besar. Jika akumulasi utang pada era Bung Karno (1945-1967) adalah 2,5 miliar dollar AS, mayoritasnya digunakan untuk membangun TNI sehingga menjadi angkatan perang terkuat di Asia sebagai bagian dari kampanye pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pada era Pak Harto (1967- 1998), jumlah utang meningkat menjadi 54 miliar dollar AS; Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen per tahun selama puluhan tahun, dan sempat disebut sebagai salah satu macan Asia. Sayangnya, pada masa akhir pemerintahannya, praktik KKN membawa Indonesia pada krisis ekonomi. Presiden Habibie yang memerintah hampir dua tahun menambah utang 20 miliar dollar AS sehingga ketika Gus Dur dilantik menggantikannya, posisi utang Indonesia mencapai 74 miliar dollar AS.

Posisi utang saat ini adalah 155,29 miliar dollar AS. Terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai 64,34 miliar dollar AS dan penerbitan obligasi negara sebesar 90,95 miliar dollar AS. Obligasi ini diterbitkan dalam mata uang rupiah dan dollar AS.

Sangat disayangkan bahwa peningkatan jumlah utang secara amat signifikan dalam tempo amat pendek ini tidak berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat, penambahan aset fisik, ataupun human investment. Rakyat miskin bertambah dan sumber daya alam terkuras.

Produksi minyak kita juga terus menurun. Pada tahun 1962 produksi setiap hari 1,6 juta barrel dengan konsumsi di dalam negeri kurang dari 1 juta barrel sehingga kita dapat mengekspor sekitar 600.000 barrel per hari, menjadikan Indonesia anggota OPEC yang terpandang. Pada tahun 1996 masih 1,4 juta barrel per hari, pada waktu ini tinggal sekitar 850.000 barrel per hari dengan cost recovery (biaya yang juga ditanggung pemerintah) meningkat tinggi. Di sisi lain, temuan cadangan minyak luar biasa besarnya.

Mengingat segala potensi besar yang kita miliki, benarlah apa yang dikatakan Peter Drucker, pakar manajemen, yang menyatakan, ”There is no under developed country there are only under managed country.” Kita memerlukan manajer yang baik tak hanya di pemerintah pusat, tetapi juga di daerah-daerah.

Saya tak ragu untuk menyatakan bahwa Indonesia memiliki segala hal yang diperlukan untuk menjadi negara besar dengan rakyat yang sejahtera, bersatu, dan maju. Salah satu modal amat penting yang diperlukan untuk menggerakkan semua potensi yang ada itu adalah dimilikinya ”kepercayaan diri” dan ”semangat kemandirian”, sesuatu yang harus terus-menerus kita bangun serta manajemen negara yang andal.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila

sumber : kompas