Beranda Kampus Bangun Bangsa, Bangun Sekolah!

Bangun Bangsa, Bangun Sekolah!

246

Oleh ST SULARTO

Ketika sejumlah negara sudah menerapkan prinsip to build nation build schools, keputusan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN 2009 dan APBD 2009 itu ibarat klimaks sekaligus antiklimaks drama perilaku politik.

Disebut klimaks, sebab kepastian terjadi setelah lima tahun sejak MPR menetapkan amandemen Pasal 31 UUD 1945 yang memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Amanat itu sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diikuti keputusan Mahkamah Konstitusi dua hari sebelumnya, 13 Agustus 2008.

Antiklimaks, sebab keputusan itu menyisakan pekerjaan rumah yang amat besar dan rumit menyangkut kesiapan mengelola agar bisa efisien, efektif, dan bertanggung jawab. Sejak masyarakat berkali-kali mengingatkan, selalu ada suara sumbang tentang ketidakmampuan birokrasi departemen teknis.

Kasus upaya peningkatan mutu lewat ujian akhir nasional yang dari sisi pedagogis kurang bisa dipertanggungjawabkan, program sertifikasi yang ribut diwacanakan tetapi tidak diikuti langkah eksekusi cepat sesuai yang dijanjikan, dan masalah pengadaan buku pelajaran, kita sampaikan sebagai tiga contoh aktual berkaitan perlunya pembenahan birokrasi Depdiknas.

Catatan-catatan di atas menyertai kebanggaan Presiden yang mengatakan, ”Anggaran pendidikan telah meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 78,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 154,2 triliun pada tahun 2008.”

Angka 20 persen dapat dipenuhi meskipun defisit anggaran harus dinaikkan sebesar Rp 20 triliun atau menjadi 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika 20 persen dari total belanja tahun depan Rp 1.122,2 triliun atau sebesar Rp 178,9 triliun, ditambah Rp 46,1 triliun, maka alokasi anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar Rp 224 triliun.

Kisah tentang kelalaian

Selama lima tahun Pasal 31 UUD 1945 yang kemudian diamandemen itu merupakan pasal yang belum terpenuhi. Mahkamah Konstitusi pernah dituding tak konsisten, membiarkan anggaran tidak sesuai konstitusi.

Pemerintah dan DPR mencoba bersiasat. Pemenuhan dilakukan bertahap, bahkan sejak tahun lalu dimasukkan faktor gaji guru dalam alokasi anggaran Depdiknas, hal yang sama juga untuk APBN 2009. Anggaran pendidikan pun hanya dikelola oleh Depdiknas.

Kesepakatan pemenuhan secara bertahap dilakukan sejak 2004, yakni 6,6 persen pada 2004, sebesar 9,29 persen (2005), naik jadi 12,01 persen (2006), 14,68 persen (2007), sebesar 17,40 persen (2008), dan 20,10 persen (2009). Ketika pada APBN 2008 dimasukkan anggaran gaji guru pada pemenuhan 17,40 persen, sebenarnya anggaran untuk kegiatan pendidikan hanya sekitar 12 persen.

Yang terjadi kemudian sampai sekarang adalah kisah tentang kelalaian. Hampir separuh gedung SD dalam kondisi rusak berat dan 18 persen rusak ringan.

Akibat kelalaian itu pun terlihat dalam pencapaian partisipasi dalam sekolah, yang diperkirakan besarnya 95 persen (dicapai cepat lewat program wajib belajar), SMP dan sederajat hampir 72 persen, SMA dan sederajat sekitar 55 persen, dan sarjana strata-1 sekitar 17 persen. Angka buta huruf terjadi pertambahan pesat. Tetapi, dari sekitar 210 juta jiwa total penduduk Indonesia saat ini, 15 juta di antaranya buta huruf, bukanlah pencapaian yang menggembirakan. Singkatnya, indeks pembangunan manusia Indonesia tahun ini ada di peringkat ke-110 dari 117 negara.

Kondisi memprihatinkan praksis (praktik dan refleksi) pendidikan negeri ini tidak bisa ditimpakan ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Jauh sebelumnya, dimulai sejak menempatkan politik sebagai panglima maupun kemudian ekonomi, bahkan di era empat presiden penerusnya.

Mengacu pada pidato Presiden, alokasi anggaran 20 persen diperuntukkan rehabilitasi gedung sekolah, peningkatan mutu dan fasilitas sekolah, perbaikan kesejahteraan guru, dosen, dan peneliti, serta beasiswa. Apakah dengan demikian akan terjadi satu perubahan mendasar, besar-besaran, dan cepat? Katakan gedung-gedung sekolah yang sebagian di antaranya mirip ”kandang ayam” diperbaiki, fasilitas sekolah seperti buku tersedia lengkap dan gratis, kesejahteraan guru terjamin seperti pada era sebelum tahun 1960-an, beasiswa bagi anak-anak yang mampu secara akademis tetapi kurang mampu secara ekonomis, SPP gratis untuk tingkat pendidikan menengah ke atas?

Naiflah mengharapkan terjadi perubahan serentak. Sebagai sebuah pernyataan politik, pidato dan nota keuangan, dalam pelaksanaan butuh waktu, kondisi dan prasyarat untuk memenuhinya. Adalah naif ketika masalah anggaran lantas didekati sekadar dihabiskan, itu pun pada semester tahun ini Depdiknas termasuk dalam kelompok disclaimer menurut BPK. Masih banyak yang tersendat, entah karena faktor kesiapan dan kompetensi birokrasi maupun perasaan ”takut-takut” terkena jerat KPK sehingga lebih aman tidak berbuat apa-apa.

Sekadar contoh, kesejahteraan guru dan dosen, salah satu faktor perbaikan mutu anak didik dan praksis pendidikan. Ketika diumumkan kenaikan 15 persen bagi yang berstatus PNS pada Pidato Kenegaraan 2007 (tahun lalu), sampai sekarang pun masih ada yang belum menikmatinya. Ada rapelan? Tentu tidak! Singkat kata, ada proses panjang yang harus dilalui antara keputusan politik—anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan 20 persen APBD—dan realisasi di lapangan

”Cost and benefit”

Menggarisbawahi ”Tajuk Rencana” harian ini (Kompas, 16/8), keputusan politik yang menggembirakan itu mesti disyukuri, tetapi tak perlu mbungahi. Anggaran yang akan diberlakukan mulai 2009 masih menyisakan waktu mempersiapkan birokrasi yang kompeten, cekatan, jujur, dan bertanggung jawab. Uang yang akan dikelola dan dikucurkan bersifat transparan dan akuntabel.

Inilah pertama kali dalam sejarah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN 2009 ini sebesar Rp 985,9 triliun. Keputusan politik ini menyentuh langsung ke masyarakat banyak sehingga gampang terlihat sisi positif dan negatifnya. Masyarakat menjadi pengawas, selain BPK maupun KPK. Masyarakat menguji apakah sekadar janji kosong, yang realisasinya sangat tergantung dari pelaksanaan di lapangan, terutama birokrasi Depdiknas.

Prinsip umum agar anggaran bisa efisien dan efektif akan menjadi pedoman kerja Depdiknas. Cost and benefit, biaya yang memperhitungkan manfaat, menjadi acuan. Agar bisa melakukannya, dibutuhkan birokrat yang cukup dalam jumlah maupun mutu. Merekalah birokrat yang kompeten, yang dibebaskan dari kepentingan politik praktis.

Praksis pendidikan adalah humanisasi (pemanusiaan), bukan untung-rugi yang dihitung dari koridor input-output, apalagi hitung-hitungan ala saudagar, apalagi mendahulukan kekuatan uang dan posisi.

Sudah lama negeri ini menunggu keputusan politik yang memberi perhatian besar pada pengembangan SDM. Menurut Prof Soedijarto, ketika rata-rata anggaran pendidikan anggota Uni Eropa adalah 5 persen dari PDB, Indonesia merupakan yang terendah di Asia, yakni 1,4 persen (Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, 2008). Data itu relevan. Kini dengan angka sekitar 1,9 persen dari PDB pun Indonesia masih di bawah Thailand yang besarnya 5,0 persen, Jepang 7,0 persen, Malaysia 5,2 persen, Vietnam 2,8 persen, dan Nigeria 2,4 persen.

Perjalanan masih panjang. Mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN 2009 merupakan keputusan politik yang tepat dan inspiratif di tengah keterpurukan segala bidang. Negara maju di Asia seperti Korea Selatan, China, dan India adalah panutan bagaimana mereka membangun negara lewat membangun manusia. Dan itu di antaranya lewat pendidikan (sekolah), satu dari nilai-nilai kebudayaan progresif yang membawa suatu bangsa menjadi bangsa besar.

To build nation, build schools! Membangun bangsa, membangun manusia!

sumber: kompas