Home Ekonomi Beli Lahan 1 Juta Hektar di Australia, Salahnya Apa?

Beli Lahan 1 Juta Hektar di Australia, Salahnya Apa?

246

sapi-sapiPemerintah Indonesia berencana membeli lahan peternakan sapi seluas satu juta hektar di Australia untuk mengatasi kekurangan daging di dalam negeri. Dana yang dibutuhkan untuk pembelihan lahan diperkirakan mencapai Rp300 miliar di luar pembelian bibit sapi. Total investasi yang dibutuhkan bisa mencapai 2 Triliun. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan meyakini pembelian lahan tersebut merupakan kebijakan tepat. Alasannya, selain lebih efisien, terutama untuk pengembang biakkan sapi atau breeding dimana biayanya jauh lebih murah di Australia ketimbang Indonesia. Nantinya, sapi-sapi tersebut setelah dibiakkan akan diboyong kembali ke Indonesia untuk proses penggemukan.

Pembelian lahan di Australia ini dalam jangka panjang untuk menstabilkan harga daging sapi Indonesia yang saat ini masih berkisar Rp90.000-Rp100.000 per kilogram. Rencananya lahan peternakan tersebut akan digunakan untuk menghasilkan bibit sapi atau pedet, yang kemudian dikirim ke Indonesia dengan target 120.000 ekor per tahun untuk digemukkan, dan harus ada jaminan pemerintah berupa regulasi agar sapi pedet dan siap potong bisa dibawa ke Indonesia. Diyakini juga, selama ini biaya penggemukan sapi di Indonesia ternyata lebih murah ketimbang di Australia, sebaliknya pembibitan lebih mahal di Indonesia.

Menurut pihak BUMN, diperbandingkan dengan negara lain, lahan 1 juta hektar masih tergolong kecil karena tingkat kebutuhan daging sapi Indonesia yang terus meningkat, dibanding Brunai Darussalam yang sudah memiliki lahan peternakan 4 juta hektar, dan Malaysia seluas 2 juta hektar di Australia.

Para peternak Australia menyambut baik rencana pemerintah Indonesia membeli 1 juta hektare lahan peternakan, dan menilai rencana ini akan membantu pemulihan industri peternakan sapi Australia. Rencana ini merupakan peluang baik bagi para peternak (Australia), yang bisa membantu memulihkan industri ternak sapi di Australia tengah mengalami fase kelesuan menyusul larangan ekspor sapi hidup ke Indonesia. Rencana peternakan Indonesia seluas sejuta hektar diperkirakan mampu memproduksi 5% jumlah ekspor ternak Australia.

Mengapa harga daging sapi di dalam negeri sangat mahal? Menurut  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, rasio perbandingan antara peternak dan sapi potong 1 : 2 adalah alasan utama mahalnya harga daging. Kebanyakan peternak pada akhirnya menjual sapi dengan harga sangat tinggi, karena minimnya sapi potong yang mereka pelihara. Sapi potong populasinya hanya 12 juta ekor. Padahal, jumlah peternak hanya ada 6 juta orang. Lalu langkah di atas jadi solusi ala pemerintahan SBY

Apa yang salah?

Rencana ini menunjukan bahwa pemerintah lebih serius dalam mendorong stabilisasi harga dibandingkan mendukung Program Swasembada Daging Sapi Nasional (PSDS) 2014 berbasis produksi dalam negeri. Kian kasat mata, pemerintah tidak memiliki visi yang kuat dalam membangun ketahanan pangan nasional berbasis produksi dalam negeri Selalu saja berfikir jangka pendek, layaknya tim pemadam kebakaran saja. Padahal keberhasilan PSDS 2014 diharapkan tidak hanya dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan nasional.

Dalam cetak biru PSDS 2014 terungkap bahwa dengan tambahan anggaran Rp10,65 triliun yang bersumber dari dana APBN dan APBD, Kementerian Pertanian akan mampu meningkatkan populasi sapi pada tahun 2014 sebanyak 14,23 juta ekor dari populasi pada tahun 2009 sebanyak 12,61 juta ekor.

Langkah sepihak Kementerian BUMN sangat ironis dan tidak perlu dilakukan mengingat pengembangan daging sapi bisa dilakukan secara massif dan terintegrasi di dalam negeri. Sebaiknya pemerintah fokus saja dalam menyukseskan swasembada daging sapi nasional di tahun 2014 dengan mengembangkan peternakan sapi di dalam negeri karena sesungguhnya tidak ada hambatan teknis yang berarti jika pemerintah memiliki komitmen dalam mewujudkan itu. Pemerintah seharusnya mengembangkan pertanianatau agribisnis  lokal atau mengundang investor asing ke Indonesia, bukan malah melakukan jalan pintas)dengan membeli lahan peternakan di Australia.

Langkah tersebut hanya akan membuang devisa,apalagi dalam situasi saat ini yang justru mesti memperkuat cadangan devisa dalam negeri. Lebih tepat adalah bagaimana memaksa Australia untuk investasi peternakan di Indonesia. akan lebih baik jika Indonesia justru memasukkan sekurangnya 4 juta ekor sapi betina produktif. Sebaiknya menteri BUMN sebelum melakukan langkah teknis terkait kontribusi BUMN terhadap sektor budidaya, agar dapat konsultaasi terlebih dahulu kepada Kementan

Dengan dana sekitar 2 triliun untuk rencana membeli lahan ternak sapi di Australia, jika dialokasikan mendorong investasi agribisnis sapi di dalam negeri akan memberikan efek domino yang luar biasa terhadap ekonomi nasional dan peternak lokal. Selama ini program swasembada sapi tidak dilakukan secara menyeluruh dan di dukung secara optimal dari lintas kementerian maupun pemangku kepentingan.

Bagaimana pun, ketersediaan lahan, sumber daya manusia dan teknologi diseminasi sapi bisa dikembangkan di dalam negeri. Selama ini manajemen produksi tidak berjalan dengan optimal karena tidak adanya sistem yang terintegrasi antara hulu (produsen) dan hilir (pasar).

Negarawan itu berpikir komprehensif lintas sektor lintas zaman

Untuk meningkatkan kualitas sapi ternak, pemenuhan kebutuhan daging sapi dan stabilisasi harga, Indonesia harus membeli lahan di Australia adalah keputusan dengan cara berpikir yang sangat sempit, jalan pintas, dan berpikir dalam kerangka sub-sektoral. Layaknya katak di bawah tempurung. Sebagai yang berlatarbelakang wirausahawan sukses, Dahlan Iskan bisa saja menilai lebih menguntungkan membeli lahan di negeri kangguru itu. Namun jangan lupa, ia sekarang menteri, yang seharusnya memutuskan layaknya negarawan. Presiden SBY seharusnya juga lebih kontrol terhadap keputusan-keputusan sub-sektoral kabinetnya. Itu juga jika beliau negarawan.

Keputusan semacam ini kiranya diletakkan dalam kerangka berpikir lintas sektoral serta berjangka panjang. Tidak semata-mata terkait kualitas daging sapi dan tingkat kebutuhannya dalam negeri, namun terkait dengan berbagai hal seperti lebih pentingnya ketahanan pangan melalui pengembangan agribisnis dalam negeri, pembukaan lapangan kerja baru, pemanfaatan lahan-lahan tidur, penghematan devisa, pencegahan warga menjadi buruh agribisnis ke negara lain seperi Malasya dan lains ebagainya, serta efek domino bagi sejumlah besar masyarakat.

Bernard Simamora (www.bernadsimamora.com /08122011524)

You cannot copy content of this page