Beranda Kampus Guru Swasta, Guru Tiri

Guru Swasta, Guru Tiri

228

Oleh Doni Koesoema A

Tahun 2008 merupakan generasi kedua sertifikasi guru. Namun, seperti tahun sebelumnya, guru swasta tetap diperlakukan seperti anak tiri. Pedoman penetapan peserta sertifikasi 2008 telah melanggengkan praksis kebijakan pendidikan yang tidak adil secara sistematis. Di mata pemerintah, guru swasta adalah guru tiri. Kebijakan seperti ini harus dikoreksi dan tidak boleh terjadi lagi.

Pemerintah memang berhak menentukan jumlah peserta dan membagi kuota peserta sertifikasi secara adil berdasar rasio guru di tingkat provinsi. Dalam hal ini, tata cara penghitungan jumlah kuota untuk tiap daerah bisa diterima dan telah berlaku, adil sebab dihitung berdasar data obyektif jumlah guru di tiap daerah. Kita mengandaikan data-data itu benar dan tidak dimanipulasi. Penghitungan kuota guru ini juga selaras dengan prinsip yang dipakai dalam pelaksanaan sertifikasi, yaitu ”dilaksanakan secara obyektif”.

Namun, ketika pemerintah mulai membagi jatah kuota antara guru negeri dan swasta, di sinilah ketidakadilan itu terjadi. Dalam pedoman penentuan peserta sertifikasi ada ketentuan yang mengatakan ”kuota guru yang berstatus PNS minimal 75 persen dan maksimal 85 persen, kuota bukan PNS minimal 15 persen dan maksimal 25 persen, disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah. Apabila kuota guru bukan PNS tidak terpenuhi, dinas pendidikan kabupaten/kota mengusulkan pemindahan kuota bukan PNS ke kuota PNS ke Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) cq. Direktorat Profesi Pendidik melalui dinas pendidikan provinsi disertai kelengkapan data pendukung”.

Apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan bahwa pegawai negeri berhak memperoleh minimal 75 persen dan maksimal 85 persen?

Demikian juga mengapa guru swasta hanya berhak mendapat jatah minimal 15 persen dan maksimal 25 persen? Tidak ada alasan fundamental obyektif yang bisa dipakai pemerintah untuk menjelaskan mengapa pegawai negeri berhak mengisi minimal 75 persen kuota peserta sertifikasi, sedangkan guru swasta hanya berhak memperoleh maksimal 25 persen. Dalam keseluruhan buku pedoman sertifikasi 2008 tidak ditemukan alasan utama mengapa para guru swasta hanya menerima minimal 15 persen dan maksimal 25 persen.

Ada apa?

Adanya perilaku sewenang-wenang yang melanggar keadilan guru swasta ini bisa dianalisis melalui beberapa sisi.

Pertama, ketidakadilan dalam pelaksanaan sertifikasi ini sebenarnya berakar dari mentalitas sektarian pejabat pendidikan yang mementingkan kelompok sempitnya sendiri, yaitu pegawai negeri. Terdapat cara berpikir sempit bahwa seolah pemilik negeri ini adalah kalangan mereka sehingga peran guru swasta masih dipandang sebelah mata. Karena itu, mereka memberi kuota lebih besar kepada pegawai negeri daripada guru-guru swasta. Padahal, justru sebagai pegawai negeri, mereka semestinya melayani kepentingan rakyat secara adil, yaitu melayani kepentingan guru-guru swasta yang juga turut berjasa mencerdaskan bangsa.

Kedua, penentuan kebijakan pendidikan nasional secara sewenang-wenang ini juga menjadi indikasi bahwa pejabat pemerintah masih lebih suka mengedepankan kekuasaan daripada visi negarawan yang menghayati jabatan yang dipercayakan kepadanya demi melayani seluruh rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Bukankah salah satu prinsip sertifikasi yang telah ditetapkan pemerintah adalah ”berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru? (penekanan oleh penulis).” Apakah guru yang dimaksud di sini hanya guru negeri? Praksis ketidakadilan terhadap guru swasta menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar prinsip sertifikasi yang telah dibuatnya sendiri!

Ketiga, para pejabat pendidikan tidak mengenali siapa wajah para guru yang selama ini telah berjuang keras bahu- membahu dalam membantu meningkatkan dunia pendidikan. Jika dilihat bagaimana animo para guru honorer yang antre untuk mendapatkan status sebagai pegawai negeri, kita tahu bahwa menjadi pegawai negeri adalah sebuah keistimewaan sebab diandaikan mereka lebih memiliki jaminan kesejahteraan sosial dibanding guru-guru swasta. Persis di sinilah masalahnya, memberi kuota lebih besar kepada guru negeri menunjukkan, pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap warga negara yang lebih membutuhkan kesejahteraan. Ini adalah masalah prioritas dan kepekaan sosial dalam mengenali siapa wajah rakyat yang terutama harus dilayani.

Guru-guru swasta tentu tidak menuntut bahwa mereka diistimewakan. Cukuplah bagi mereka kalau pemerintah bersikap adil dan mampu benar-benar menghayati kekuasaan yang dimilikinya itu demi kepentingan rakyat bukan demi kepentingan kelompok kecilnya.

Kekuasaan yang mereka miliki itu dari rakyat dan harus digunakan sebesar-besarnya demi kemaslahatan seluruh rakyat. Untuk itu, dalam setiap masyarakat yang demokratis, keadilan sosial mesti menjadi jiwa bagi setiap kebijakan pemerintah.

Harus dikoreksi

Kebijakan pendidikan yang sektarian dan tidak adil ini harus dikoreksi. Lebih lagi, kita tahu bahwa anggaran pendidikan yang dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan itu berasal dari sumbangan seluruh rakyat melalui pajak, termasuk di dalamnya sumbangan guru negeri dan swasta.

Maka, perlakuan sewenang-wenang dalam pembuatan kebijakan pendidikan seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Melanggengkan kebijakan pendidikan yang tidak adil dan melestarikannya secara sistematis melalui peraturan perundang-undangan jelas merupakan tindakan inkonstitusional dan melanggar prinsip ke lima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sudah saatnya para pejabat pemerintahan membuka wawasan dan memahami makna jabatan yang mereka emban sebagai mandat dari rakyat demi kepentingan rakyat bukan sebuah kekuasaan untuk memperkaya diri atau menguntungkan kelompok sendiri.

Guru swasta tidak boleh lagi menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston