Beranda Klinik Hukum “Konflik” Agama dan Pemilu di Dua Negara

“Konflik” Agama dan Pemilu di Dua Negara

229

R William Liddle

Dalam kampanye presidensial Amerika Serikat 2008 ini, tuntutan kaum konservatif Kristen berkurang sekali ketimbang Pemilu 2004. Isu-isu mereka jarang dibicarakan kedua calon presiden, Barack Obama dan John McCain.

Dari awal kampanye tahun ini, ketika belum ada krisis perbankan dan pasar saham, yang menonjol adalah konflik kebijakan ekonomi, khususnya peran yang seharusnya dimainkan negara dan pasar.

Sebagai pengamat politik Indonesia, mungkin saya lebih peka terhadap perubahan ini, sebab keadaan Indonesia belakangan ini memberi kesan bertolak belakang dengan yang saya alami di Amerika Serikat. Sejak Pemilu 2004, tuntutan kaum konservatif Islam di Indonesia kian kedengaran. Di tingkat nasional kita menyaksikan perlawanan terhadap pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, kampanye Undang-Undang Pornografi dan gerakan anti-Ahmadiyah. Di tingkat lokal, puluhan DPRD membuat berbagai peraturan bernuansa syariat.

Di AS, ada survei baru yayasan nirlaba Faith in Public Life (Iman dalam Kehidupan Publik) yang membantu saya mengerti apa yang terjadi di negeri Paman Sam. Ternyata ada pergeseran pandangan politik orang beragama, khususnya orang muda, yang memanfaatkan Barack Obama. Lebih banyak orang AS menganggap Obama “ramah terhadap agama” ketimbang McCain (49 persen lawan 45 persen). Di kalangan pemilih usia 18-34 tahun, 71 persen mengaku akan memilih Obama pada pemilihan presidensial 4 November. Dari kelompok muda ini, lebih banyak orang Katolik suka Obama (55 persen) ketimbang McCain (40 persen).

Dari para pemilih yang mengikuti kebaktian di gereja satu atau dua kali sebulan, 60 persen mengaku akan memilih Obama, dibanding 49 persen memilih John Kerry, capres Partai Demokrat, tahun 2004. Hal ini mengingatkan kita kepada George Bush pada Pemilu 2004. McCain mendapat dukungan mayoritas Protestan evangelis (68 persen lawan 25 persen yang pro-Obama). Meski demikian, ada tanda, evangelis muda pun mulai bergeser dari kesetiaan lama pada Partai Republik (65 persen pro-McCain, 29 persen pro-Obama).

Di luar pilihan calon presiden, beberapa temuan meyakinkan Faith in Public Life bahwa the God gap, kesenjangan Tuhan, mulai dijembatani. Mayoritas besar pemilih menyebutkan ekonomi, harga minyak, dan asuransi kesehatan sebagai isu paling penting masa kini. Lebih banyak orang muda Katolik mendukung hak aborsi ketimbang orangtua mereka (60 persen lawan 50 persen). Di kalangan evangelis putih, 52 persen orang muda (dibanding 39 persen orangtua) menyetujui hak orang gay dan lesbian. Lebih banyak orang evangelis putih muda percaya, moralitas terpisahkan dari agama dan bahwa diplomasi lebih baik daripada kekuatan militer.

AS dan Indonesia

Membaca angka-angka ini, saya teringat hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia tentang kekuatan partai-partai Islam di Indonesia. Temuannya mirip dengan Faith in Public Life. Hal ini meyakinkan, benturan politik di permukaan belum tentu mencerminkan sikap rakyat di bawah. Hampir 90 persen masyarakat Indonesia beragama Islam, tetapi hanya 17 persen yang mengaku akan memilih partai berasas Islam pada Pemilu 2009. Pemilih Islam di Indonesia cenderung mendukung partai-partai berasas Pancasila, khususnya PDI-P, Golkar, dan Partai Demokrat.

Dari berbagai segi, tiga partai “sekuler” itu dianggap lebih mampu memerintah. Menurut 17 persen dan 16 persen responden, Golkar dan PDI-P memiliki citra mewakili rakyat kecil. Sekitar 12 persen berpendapat, Partai Demokrat punya image itu. Dari semua partai Islam, PKS di depan dengan tujuh persen. Ketika responden ditanya apakah salah satu partai punya program bagus, peduli pada keinginan rakyat, atau memiliki pemimpin yang mampu memecahkan masalah bangsa, jawabannya hampir sama. Hanya saat ditanya tentang kebersihan dari korupsi, PKS (10 persen) ditempatkan di atas Partai Demokrat (7 persen), PDI-P (6 persen), dan Golkar (4 persen).

Masalah umum

Sebagaimana halnya pemilih Kristen di AS, pemilih Islam di Indonesia mementingkan masalah-masalah yang kiranya jauh dari agama. Sifat-sifat paling penting dimiliki suatu partai politik adalah kepedulian pada kepentingan rakyat (32 persen), memiliki program untuk kesejahteraan rakyat (29 persen), kesediaan mewakili kepentingan semua lapisan masyarakat (16 persen), serta kebersihan dari korupsi (12 persen). Saat ditanya hal-hal yang paling mendesak dan harus ditangani pemerintah, 76 persen menyebut “ekonomi dan kesejahteraan rakyat”, hanya 0,8 persen mengatakan “moral dan agama”.

Meski demikian, belum bisa dikatakan, konflik agama di dua negara kita sudah selesai. Akarnya terlalu dalam dan tebal. Namun, ada kemungkinan kita sudah bersama-sama memasuki fase baru dalam politik yang lebih mementingkan masalah ekonomi ketimbang agama. Meski penuh tantangan, apalagi dalam suasana krisis yang kini merundung kita. Bagi saya, fase ini lebih menjanjikan asal ada kebijakan yang tepat, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah sesuatu yang bisa dicapai di dunia ini.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS (Sumber : Kompas)