Beranda Sosbud Menata Jalan Braga

Menata Jalan Braga

363

Oleh JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH
Kawasan Jalan Braga yang legendaris, seperti Kota Bandung, dibangun kolonial Belanda ketika kondisi kota masih sederhana dan populasi penduduk masih sedikit. Dahulu jalan itu demikian populer karena kualitas arsitektur pertokoan dan produk yang dijual melebihi kawasan komersial lain. Namun, kemudian, kehadiran kawasan komersial di tempat lain membuat Braga ketinggalan zaman.
Walaupun di Braga sekarang terdapat apartemen dan pusat pertokoan di bawahnya yang disebut Braga City Walk, tampaknya itu belum berhasil menghidupkan seluruh kawasan Braga kembali menjadi kawasan populer Bandung sebagaimana diceritakan Haryoto Kunto dalam buku-bukunya mengenai Bandung.
Rencana Pemerintah Kota Bandung mereka ulang atau merevitalisasi kawasan Braga tampaknya akan menemui berbagai kendala, terutama daya dukung kawasan itu yang dibandingkan dengan kawasan komersial lain sudah tidak sesuai dengan kondisi Kota Bandung sekarang. Tanpa perubahan, kalau perlu radikal, misalnya dengan mengubah kawasan Braga menjadi superblok yang akan mengubah total wajah Braga, kawasan itu rasanya sulit bersaing dengan kawasan komersial kontemporer seperti mal atau plasa.
Belum lagi, kawasan permukiman seperti Dago dan Riau, yang berubah menjadi kawasan komersial bentuk baru, menjadi pesaing baru dengan komoditas yang lebih populer. Kawasan komersial baru memiliki fasilitas yang kurang dimiliki Braga, seperti pepohonan peneduh, lahan parkir yang luas, desain toko kontemporer, serta produk populer, seperti factory outlet (FO), disribution outlet (distro), serta kafe dan restoran dengan desain mutakhir. Bila keukeuh ingin direvitalisasi, Braga harus sanggup tampil menyesuaikan diri dalam bentuk yang sama sekali lain dan unik.
Kawasan klasik
Rencana mengganti aspal di Jalan Braga dengan batu, seperti di kawasan kota tua di Eropa, tampaknya berangkat dari pandangan bahwa Braga meupakan representasi wilayah klasik kota. Kualitas klasik Braga harus diimbangi dengan upaya mengembalikan unsur nostalgia kawasan itu, misalnya mengembalikan fasade toko yang telah berubah ke model aslinya seperti gaya art deco. Dengan begitu, nuansa klasik Braga secara visual akan kembali muncul.
Untuk menjaga gengsi Jalan Braga sebagai pusat pertokoan produk berkualitas tinggi seperti zaman dahulu, toko-toko di sana harus menjual produk bermerek terkenal dan eksklusif khas gaya hidup urban, yang mungkin sebagian berupa produk impor. Hotel di ujung Jalan Braga harus dibuat menjulang dan berbintang agar kualitas kawasan tersebut kembali terangkat. Bila di New York ada Fifth Avenue dan di Los Angeles ada Rodeo Drive, diharapkan di Bandung ada Braga. Sebagai kawasan legendaris, Braga dapat saja diformat sebagai kawasan campuran antara pertokoan dan pusat-pusat kebudayaan, seperti museum dan ruang publik lainnya.
Untuk memberikan bobot kawasan antik yang tinggi pada kawasan Braga, barangkali di Braga layak dibangun sebuah museum Kota Bandung dengan berbagai obyek yang mengisahkan perjalanan sejarah Kota Bandung. Braga juga tampaknya merupakan tempat ideal untuk berdirinya gedung hall of fame Kota Bandung yang mengoleksi nama-nama warga Bandung bersama prestasi yang menjulang dan mengharumkan kota ini dalam berbagai bidang, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan, agama, olahraga, wiraswasta, dan prestasi kebudayaan lainnya.
Beberapa calon dalam daftar itu adalah para pemenang Anugerah Kota Bandung dan pemain legendaris Persib. Format gedung ini barangkali dapat digabung dengan museum lilin (wax museum), yaitu patung lilin tokoh-tokoh terkenal sebagaimana terdapat di kota-kota di Eropa. Akan tetapi, untuk konteks hall of fame Bandung, mereka adalah tokoh yang memberikan warna pada sejarah Kota Bandung dan Jawa Barat umumnya. Etalase industri kreatif
Alternatif lain adalah memanfaatkan potensi dan karakteristik Kota Bandung yang mulai dikenal sebagai kota kreatif, termasuk julukan kota mode paling dinamis di negeri ini. Berlainan dengan pendekatan klasik itu, upaya menyulap kawasan Braga menjadi kawasan kreatif, antara lain, di samping dengan membangun toko yang menjual produk kreatif seperti kriya bersifat suvenir khas Bandung, juga mengubah produk yang dijual toko di kawasan itu dengan komoditas khas Bandung yang sedang tren, yaitu FO dan distro. Tentu saja ini harus dilengkapi dengan fasilitas lain, seperti kafe atau restoran. Dengan model ini, wajah toko-toko di Braga dapat dikemas dalam gaya desain kontemporer seperti postmodern yang mengacu pada gaya art deco.
Toko-toko buku di kawasan Braga harus dibuat lebih populer dengan cara seperti yang dilakukan komunitas toko buku anak muda, misalnya menyediakan sarana untuk berbagai kegiatan yang berhubungan dengan dunia buku, antara lain tempat peluncuran buku baru, bedah buku, temu muka dengan penulis, dan seterusnya. Gedung Asia Afrika Cultural Center di ujung selatan Jalan Braga adalah tempat yang ideal untuk berbagai kegiatan yang menunjang kegiatan seperti itu. Intensitas kegiatan di gedung itu harus dibuat lebih kontinu dengan variasi kegiatan lain yang dikemas lebih menarik dan populer.
Adapun bekas kantor Gas Negara sangat ideal untuk dibuat menjadi ruang publik seperti museum Kota Bandung, hall of fame Kota Bandung, atau tempat berbagai kegiatan budayawan atau seniman, termasuk bermacam pameran karya seni. Sekarang beberapa toko di Jalan Braga telah bersalin rupa menjadi toko lukisan. Semula lukisan tersebut digelar di trotoar.
Beberapa kafe di Braga umumnya hanya buka pada malam hari. Kafe jenis ini membuat sebagian wajah Braga pada siang hari tampak mati. Kafe-kafe tersebut harus diformat agar buka juga pada siang hari agar Jalan Braga tampak hidup di siang hari.
Dewasa ini berbagai komunitas tumbuh subur di Kota Bandung. Salah satu komunitas sepeda motor besar, Brotherhood, telah bermarkas di Braga. Kehadiran komunitas anak muda di kawasan ini adalah potensi yang dapat membangkitkan kawasan Braga menjadi lebih hidup dan dinamis. Kawasan parkir di Braga yang terbatas dapat terbantu dengan adanya kawasan parkir di tepi Sungai Cikapundung di samping Gedung Merdeka.
Tentu upaya ini harus didukung dan melibatkan pemilik toko di kawasan tersebut. Upaya ngawawaas kawasan Braga tidak akan berhasil tanpa dukungan penuh pemilik toko. Sebab, sesungguhnya upaya revitalisasi itu untuk meningkatkan arus pengunjung ke kawasan Braga, baik pengunjung lokal, warga Jakarta kala liburan, maupun wisatawan mancanegara.
Di sisi lain, masyarakat urban sekarang memberikan apresiasi tinggi terhadap kualitas suatu tempat. Mereka akan bersedia datang untuk sesuatu yang unik dan khas di suatu kawasan. Nyanggakeun.
JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH Dosen Desain Itenas